Melihat Alasan Pemberhentian Hakim dalam UU Mahkamah Konstitusi
Terbaru

Melihat Alasan Pemberhentian Hakim dalam UU Mahkamah Konstitusi

Mantan hakim MK menilai, tindakan DPR tersebut dapat dikatakan telah melanggar UUD dan UU. 

Oleh:
Hamalatul Qurani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi hakim MK. Foto: RES
Ilustrasi hakim MK. Foto: RES

Komisi III DPR RI baru baru ini membuat keputusan yang sangat mengejutkan, yakni mencopot Hakim Aswanto dari jabatannya sebagai Hakim Konstitusi. Padahal berdasarkan SK pengangkatannya jabatan Hakim Aswanto baru berakhir pada tanggal Maret 2029 mendatang. Komisi III bahkan langsung menunjuk pengganti Aswanto, yakni Guntur Hamzah (sebelumnya Sekjen MK) dalam rapat paripurna yang digelar Kamis lalu (29/9).

Lantas apakah betul DPR memiliki wewenang untuk memberhentikan Hakim MK? Terlebih alasan pencopotannya seperti disebutkan Ketua Komisi III, Bambang Wuryanto lantaran Aswanto kerap menganulir UU bikinan DPR, padahal Aswanto merupakan Hakim Konstitusi yang terpilih dari usulan DPR. Sekadar diketahui, salah satu UU usulan DPR yang dianulir Aswanto adalah UU Cipta Kerja.

Perlu diketahui, dalam ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 dan diubah lagi dengan UU No. 7 Tahun 2020, dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Hakim Konstitusi terdiri dari 9 Hakim yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Baca juga:

Adapun proses pengisiannya dalam Pasal 18 UU a quo ditentukan, komposisi Hakim MK memang diisi oleh 9 orang hakim yang terdiri dari 3 unsur, yakni 3 hakim dari usulan pemerintah (eksekutif), 3 hakim usulan DPR (legislatif) dan 3 hakim lainnya dari usulan Mahkamah Agung (yudikatif).

Pertanyaannya, apakah bisa masing-masing lembaga yang menunjuk perwakilannya sebagai Hakim MK mencopot sang hakim bilamana putusan-putusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kehendak lembaga pengusul? Bukankah jika lembaga pengusul bisa mencopot Hakim atas alasan tersebut sama halnya dengan mencoreng independensi Hakim? 

Jimly Asshiddiqie, Mantan Hakim MK yang juga tercatat sebagai pendiri Mahkamah Konstitusi menyebutkan dalam cuitan tweetnya, bahwa dalam pertemuan 9 eks hakim MK yang dihadiri oleh Mahfud MD, Hamdan Zoelva, Maruarar, Laica Marzuki, Harjono, I Gede Dewa Palguna, Maria Farida, Sodiki dan Jimly sendiri, menyimpulkan bahwa tindakan DPR tersebut dapat dikatakan telah melanggar UUD dan UU. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait