Melihat Dampak UU Cipta Kerja Terhadap Pengadaan Tanah Proyek Infrastruktur
Berita

Melihat Dampak UU Cipta Kerja Terhadap Pengadaan Tanah Proyek Infrastruktur

Kendala pengadaan memang masalah yang besar dan mendominasi pembangunan infrastruktur.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pembangunan infrastruktur: HOL
Ilustrasi pembangunan infrastruktur: HOL

Salah satu persoalan dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bendungan atau waduk, serta fasilitas lainnya adalah pengadaan tanah. Pembangunan infrastruktur yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia ini membutuhkan tanah, sehingga mekanisme pengadaan tanah memegang peran krusial dalam mendukung pembangunan infrastruktur nasional.

Regulasi yang mengatur pengadaan tanah sudah ada sejak tahun 1990-an. Pada tahun 1993, guna menjalankan kegiatan pengadaan tanah, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum.

“Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pengadaan tanah masih banyak yang tidak tuntas. Ada jalan tol yang belum tersambung di satu lokasi, selain itu pengadaan tanah juga menimbulkan konflik pertanahan. Penilaian ganti kerugian tanah milik masyarakat juga masih berbasis Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Pemda setempat, yang nilainya jauh dari market price, sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat,” ungkap Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Himawan Arief Sugoto, saat memberikan paparan pada Webinar Internasional, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Kamis (18/2).

Pada tahun 2012, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. “Setelah adanya undang-undang tersebut, pelaksanaan pengadaan tanah sudah menjadi lebih baik. Walau begitu, ada juga kendalanya, antara lain adanya dokumen perencanaan pengadaan tanah yang didukung oleh data serta anggaran yang akurat, sehingga terjadi revisi karena tidak sesuai kondisi fisik dan akibatnya adalah penambahan anggaran. Kemudian penetapan lokasi atau penlok, yang diterbitkan oleh Gubernur, belum sesuai dengan tata ruang, akibatnya ada penolakan dalam pelaksanaan,” kata Himawan.

“Selain itu, apabila izin pelepasan objek pengadaan tanah yang masuk ke kawasan hutan, tanah wakaf, Tanah Kas Desa (TKD), tanah aset instansi, ini pelepasannya butuh waktu yang lama. Kemudian pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) terhambat karena belum termasuk jenis kepentingan umum, sehingga tidak dapat menggunakan UU Nomor 2 Tahun 2012,” tambahnya. (Baca: Ini Hasil Analisis KPPU Terkait Seluruh PP Turunan UU Ciptaker)

Himawan juga mengungkapkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) telah memberikan terobosan dalam pelaksanaan pengadaan tanah. Ia menuturkan bahwa apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2012 dapat diatasi.

“Apabila lokasi pengadaan tanah masuk dalam kawasan hutan, maka akan dilakukan pelepasan kawasan hutan, yang ketentuannya akan diatur dalam peraturan turunannya. Dalam UUCK juga mengamanatkan Kementerian ATR/BPN dalam menyusun perencanaan pengadaan tanah, tentunya Kementerian ATR/BPN akan banyak memberikan masukan dari aspek perencanaan,” ujar Plt. Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait