Melihat Efektivitas Fungsi Legislasi DPR di Masa Pandemi
Utama

Melihat Efektivitas Fungsi Legislasi DPR di Masa Pandemi

Fungsi pengawasan kebijakan pemerintah melalui produk legislasi yang dihasilkan juga dinilai tak berjalan baik. DPR yang didominasi fraksi partai pendukung pemerintah cenderung memuluskan kebijakan yang diinginkan presiden.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Terlebih lagi, kata dia, kualitas legislasi jauh dari harapan. Nabila menyoroti dari dua aspek. Pertama, tinjauan proses terjadi pelanggaran kepatuhan pembentuk UU terhadap formal prosedur sebagaimana diatur berbagai peraturan. Kemudian, rendahnya kualitas partisipasi publik dalam prosedur pembuatan UU yang baik dan benar.

Kedua, tinjauan substansi. Menurutnya pembentukan UU tidak berdasarkan kebutuhan mendesak di masyarakat; bermaslaah secara redaksional dan penerapan nilai; banyaknya permohonan pengujian materil UU yang baru disahkan. “Sepanjang sejarah ketika UU disahkan, saat itu juga diajukan uji materi ke MK. Dengan adanya ‘banjir’ perkara di MK, tidak bisa kita katakan legislasi tak buruk, dan membuktikan muatannya bermasalah bagi masyarakat,” kata Nabila.

Fungsi pengawasan tak berjalan

Lebih lanjut, Nabila mengatakan setahun belakangan terakhir di era pandemi fungsi pengawasan DPR pun tak berjalan maksimal karena tak ada UU yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan pemerintah mewujudkan lahirnya UU 11/2020 dan UU 3/2020 malah memperburuk situasi pandemi Covid-19, malah menimbulkan aksi demo besar-besaran.

“Sejak masa pendemi tidak ada pengawasan efektif dari DPR terhadap kebijakan pemerintah. Seharusnya DPR mengkritisi kebijakan pemerintah. Jadi, masyarakat patut mempertanyakan efektivitas tim pengawasan penanganan pandemi Covid-19 DPR,” kata dia.

Dengan kata lain, fungsi check and balances tak berjalan sejak penguatan dominasi kekuasaan eksekutif di parlemen melalui partai koalisi pemerintah yang justru mengikis kewenangan DPR. “DPR terkesan memuluskan keinginan presiden. Akibatnya, masyarakat pun terpaksa menempuh jalur lain untuk legislasi yang berkeadilan melalui MK sebagai upaya hukum terakhir.”

Co-Founder LaporCovid-19, Irma Hidayana menyoroti belum adanya aturan pelaksana UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya terkait sanksi yang melanggar. “Kita di sini belum memiliki instrumen yang lengkap yakni Peraturan Pemerintah (PP), bagaimana memberi sanksi aturan pelaksananya belum ada,” kata Irma.

Dia memberi contoh penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal Maret 2020 lalu. Tapi, praktiknya terjadi penyekatan wilayah yang masuk kategori kekarantinaan wilayah. Tapi, pengaturan lebih teknis yang dimandatkan UU 6/2018 lagi-lagi belum diterbitkan. “Nah DPR seharusnya mendorong dibuatnya PP Kekarantinaan Wilayah ini. Sebagai info, batas dibuatnya PP itu pada Agustus 2021 ini. Jadi hampir 3 tahun berlakunya UU Kekarantinaan wilayah ini, tetapi belum ada PP-nya,” katanya.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sudah salah sejak awal, malahan terjadi penyangkalan. Hal ini terlihat dari produk legislasi yang dibuat. Menurutnya, UU 2/2020 cenderung mengutamakan penyelamatan ekonomi melalui kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dengan serangkaian RUU yang disahkan menjadi UU di masa pandemi.

“DPR juga seharusnya memonitor (memantau pelaksanaan UU, red) terhadap UU yang mereka buat,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait