Melihat Intisari Landmark Decision MA Tahun 2012
Fokus

Melihat Intisari Landmark Decision MA Tahun 2012

Mulai dari pemenuhan hak ahli waris mengajukan PK hingga kritik terhadap hukum adat yang tak mengakui kedudukan perempuan setara dengan laki-laki.

Oleh:
MYS/ASH
Bacaan 2 Menit

Majelis hakim agung Prof. Rehngena Purba, Soltoni Mohdally dan Prof. Takdir Rahmadi mengabulkan kasasi para tergugat. Para tergugat sudah menguasai tanah sejak 1976 secara terus menerus dan didaftar secara terang di daftar desa setempat. Penguasaan yang lebih dari 30 tahun tanpa dipersoalkan penggugat berarti penggugat telah melepaskn haknya secara diam-diam (rechtsverwerking).

Pertimbangan majelis didasarkan pada asas kemanfaatan dan keadilan serta ketenteraman masyarakat, agar pemakai dapat menikmatinya dengan tenang. Lebih besar mudharatnya apabila gugatan dikabulkan karena akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat, khususnya di desa objek sengketa.

Hak perempuan dan laki-laki

Dalam putusan kasasi No. 1048K/Pdt/2012, majelis hakim agung dipimpin Prof. Rehngena Purba – beranggotakan Prof. Takdir Rahmadi dan Nurul Elmiyah—menyatakan hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki tidak dapat dipertahankan lagi.

Putusan ini diambil dalam sengketa tanah waris di Nusa Tenggara Timur. Penggugat Ny. JFMN mengklaim tanah yang dikuasai para tergugat adalah miliknya hasil warisan dari ayahnya. PN Rote Ndao mengabulkan sebagian gugatan penggugat, yakni menyatakan Ny. JFMN adalah ahli waris ayahnya. Pengadilan Tinggi membatalkan putusan itu dengan dasar hukum adat setempat mengenal sistem kewarisan patrilineal murni. Artinya, yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki. Kalau tak ada anak laki-kali, keluarga tersebut harus mengangkat anak laki-laki saudaranya (setempat dikenal dengan dendi anak kelambi).

Mahkamah Agung membatalkan putusan banding tersebut. Majelis hakim agung berpendapat hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tak bisa dipertahankan lagi. Hukum adat yang demikian melanggar hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan yurisprudensi MA No. 179K/Sip/1961.  

Permohonan uji pendapat

Putusan ketujuh yang menjadi landmark decision adalah putusan MA No. 1P/Khs/2013. Dalam putusan ini majelis hakim agung –Prof. Paulus Effendi Lotulung, Yulius, dan Supandi -- menyatakan keputusan DPRD Garut 21 Desember 2012 terkait Bupati HM Aceng Fikri berdasar hukum, sehingga permohonan pendapat dikabulkan.  

Dalam pertimbangan, majelis menyatakan Aceng Fikri tidak mematuhi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perkawinan. Padahal sesuai UU Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah wajib mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Mahkamah Agung berpendapat bahwa H. Aceng HM Fikri S.Ag (Bupati Garut) telah melanggar sumpah/janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu tidak memenuhi kewajiban sebagai kepala daerah untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya dengan selurus-lurusnya”.

Dalam Laporan Tahunan MA 2012, ringkasan putusan dan kutipan pertimbangan hakim tak tercantum meskipun pada daftar putusan penting di awal laporan sudah disebut. Awalnya, diakui Ridwan Mansyur, putusan perkara Aceng masuk Laporan Tahunan 2012. Tetapi karena putusan majelis diketuk pada 2013, maka secara resmi putusan tersebut akan masuk landmark decisions tahun berikutnya. “Putusan Aceng akan masuk dalam landmark decision 2013,” jelasnya kepada hukumonline.

Tags:

Berita Terkait