Melihat Kelebihan, Kelemahan dan Permasalahan Hukum Sistem COD
Terbaru

Melihat Kelebihan, Kelemahan dan Permasalahan Hukum Sistem COD

Perlu kesadaran bagi pelaku usaha dan konsumen mengenai hak dan kewajiban.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Metode pembayaran di tempat atau cash on delivery (COD) sempat menjadi perhatian publik belakangan ini. Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Anna Maria Tri Anggraini, menyampaikan terdapat kelebihan dan kelemahan dari sistem cash on delivery (COD).

“Kelebihannya lebih banyak, sehingga (COD) banyak diminati,” ujar Anna Maria Tri Anggraini seperti dikutip dari Antara dalam Diskusi Publik Indonesia Consumer Club secara daring, Kamis (29/7) lalu.

Lebih lanjut, dia menyampaikan beberapa kelebihan dari mekanisme COD. Pertama, konsumen dapat memeriksa barang sebelum memutuskan akan membeli atau tak membeli. Kedua, jika barang tak sesuai, maka pembeli dapat langsung komplain atau membatalkan transaksi.

Ketiga, COD dapat menghindari konsumen dari penipuan. Keempat, konsumen tak menanggung jasa pengiriman. Kelima, adanya jaminan untuk konsumen bahwa toko daring tidak fiktif. Keenam, COD lebih banyak mendatangkan pelanggan.

Di samping itu, Anna mengatakan ada empat poin kelemahan dari sistem COD. Pertama, COD akan menjadi bermasalah jika konsumen tak ada di lokasi penerimaan atau lokasi tak dapat ditemukan. Kedua, sistem tersebut areanya terjangkau. (Baca: 95 Persen Konsumen Adukan Transaksi di Sektor E-Commerce)

Ketiga, tak semua jenis barang dapat menggunakan mekanisme COD. Keempat, penjual harus siap dengan pembatalan atau keluhan dari konsumen. “Ini dari sisi pelaku usaha tentu saja kelemahannnya,” sebut dia

Anna juga mengingatkan bahwa dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat kewajiban konsumen yang harus dipenuhi, yaitu mengikuti petunjuk informasi dan proses pemakaian, beriktikad baik, membayar sesuai kesepakatan, dan mengikuti penyelesaian sengketa jika terjadi persoalan hukum.

Adapun kewajiban pelaku usaha yang tertera dalam UU Perlindungan Konsumen adalah menerima pembayaran, mendapatkan perlindungan hukum, hak rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan pelaku usaha, serta pembelaan diri jika terjadi persoalan hukum sengketa.

Anna menjelaskan beberapa contoh kasus yang menjadi hambatan dalam proses COD beserta solusinya. Contoh pertama, ancaman jiwa kurir yang perlu diselesaikan dengan cara pelaku usaha e-commerce wajib memberikan penjelasan secara rinci di dalam halaman muka (front page) terhadap barang atau jasa yang diperdagangkan, termasuk mekanisme pembelian.

Contoh selanjutnya adalah barang yang dibeli tak sesuai pesanan, sehingga perlu ada konfirmasi pesanan secara elektronik pada saat checkout secara rinci, dan mudah bagi konsumen mengecek spesifikasi barang yang dipesan pada saat diterima. "Kalau tidak sesuai, dapat pengajuan retur via sistem," jelas Anna.

Contoh yang ketiga adalah pelaku usaha yang harus memfasilitasi keluhan konsumen dengan transaksi COD melalui layanan pengaduan refund COD (call centeremailchatting). Selanjutnya, transaksi elektronik yang menuntut adanya penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien sehingga perlu adanya fasilitas untuk mengatasi sengketa secara elektronik (online dispute resolution).

Terakhir, terkait proses pengajuan refund dana yang sulit. Anna memberikan solusi agar pengembalian dana atas pembatalan transaksi memiliki standar waktu penyelesaiannya dan dana konsumen tak lagi harus terparkir di uang digital yang dimiliki e-commerce.

Sementara, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David ML Tobing menyampaikan cara mitigasi permasalahan sistem COD yang masih menimbulkan kesalahpahaman antara konsumen dengan penjual. "Sedapat mungkin alternatif penyelesaiannya itu di internal dispute resolution, artinya platform membuka satu mekanisme penyelesaian antara penjual dan pembeli,” ujar David.

Ia menyampaikan salah satu mitigasi itu adalah adanya edukasi dari sisi marketplace dalam website atau iklan kepada konsumen mengenai syarat dan ketentuan COD. Kemudian, dari sisi konsumen, perlu iktikad baik dalam memanfaatkan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) karena terjadinya COD merupakan kesepakatan atas pembelian barang antara konsumen dengan penjual.

Selanjutnya, dari sisi perusahaan pengiriman, perlu adanya penyediaan asuransi atas kerusakan barang apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian kurir.

Selain itu, tambah David, perusahaan harus memiliki service level agremeent yang jelas dengan marketplace, sehingga ketika barang yang diterima mengalami kerusakan dalam kemasan, maka pengantar berhak menolak untuk mengantarkan barang kepada konsumen.

Kerugian Capai Rp1,06 Triliun

Anna Maria Tri Anggraini mengatakan total kerugian konsumen sejak Januari hingga 22 Juli 2021 mencapai Rp1,06 triliun. Ia menjelaskan kategori pengaduan paling tinggi terjadi pada jasa keuangan 2.050 kasus, diikuti jasa e-commerce 364 kasus, perumahan 145 kasus, jasa telekomunikasi 36 kasus dan jasa transportasi 20 kasus.

Berdasarkan pengaduan itu, maka BPKN memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan pelbagai persoalan terkait hak-hak konsumen. Namun, berdasarkan data BPKN yang dikeluarkan sejak tahun 2005 sampai Juni 2021, jumlah tanggapan atau rekomendasi BPKN yang ditindaklanjuti pelaku jasa masih minim.

“Ini angka yang sangat fantastik yang perlu menjadi catatan bagi pemerintah terkait dengan kerugian yang dialami konsumen,” ujar Anna.

Menurut Anna, dari sebanyak 207 rekomendasi BPKN, hanya 46 yang mendapatkan respons, sisanya sebanyak 161 belum ditanggapi oleh pemerintah. Anna juga memaparkan beberapa isu yang perlu dicermati untuk menyelesaikan berbagai masalah atas perlindungan konsumen yang masih muncul dan terus berulang.

Pertama, konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, serta keselamatan dalam penggunaan produk, baik berupa barang maupun jasa. Oleh karena itu, pelaku usaha harus menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dari paparan virus COVID-19, serta memberikan kepastian akses informasi yang jelas dan lengkap untuk menghindari kasus insiden perlindungan konsumen.

“Selain itu, terdapat kepastian perlindungan terhadap data pribadi konsumen agar kepercayaan konsumen makin meningkat dan sering menggunakan jasa layanan publik,” kata Anna.

Kedua, konsumen memiliki hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tak diskriminatif sesuai dengan regulasi maupun peraturan perundangan yang berlaku. Untuk itu, konsumen berhak mendapatkan layanan secara baik dan tak diskriminatif, hak terhadap aksesibilitas, serta hak pelayanan khusus konsumen rentan (disabilitas, orang tua, anak-anak, wanita hamil, dan lain-lain).

Ketiga, yang perlu diperhatikan adalah konsumen memiliki hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. "(Yaitu) terkait tanggung jawab sepanjang rantai nilai layanan publik apabila terjadi insiden, pihak mana saja yang bertanggung jawab? Apakah pemilik platform? Pelaku usaha? ataukah tanggung jawab masing-masing Kementerian/Lembaga sebagai regulator," katanya.

Tags:

Berita Terkait