Melihat Lagi Kronologi Perkara Hak Tagih Bank Bali Joko Tjandra
Berita

Melihat Lagi Kronologi Perkara Hak Tagih Bank Bali Joko Tjandra

Penasihat hukum membenarkan Joko berada di Indonesia dan mendaftarkan PK di PN Jaksel, namun kini ia telah kembali keluar negeri.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Kewajiban mendaftarkan hutang yang menurut KMK 26/98 ada pada debitur dan kreditur, ternyata tertulis hanya ada pada debitur dalam SKB I, hal tersebut telah mengakibatkan banyak tagihan yang tidak terdaftar karena bank debitur tidak atau terlambat mendaftar. Protes pun mengalir dari berbagai pihak seperti bank kreditur, baik lokal maupun asing, dari Bank Dunia, dan IMF.

Sedangkan terhadap kreditur asing kemudian Pemerintah RI menandatangani Frankfurt Agreement pada 14 Februari 1998 dan pesertanya mendapat jaminan dari Pemerintah Indonesia. Adanya fasilitas Trade Maintenance Facility (TMF) dan Interbank Debt yang berdasarkan Frankfurt Agreement hanya menyangkut penyelesaian tagihan dari bankbank kreditur luar negeri melalui Exchange Offer Program (EOP).

Dengan demikian kreditur luar negeri telah terjamin pembayarannya dengan EOP tersebut yang pada bulan Pebruari 1999 telah direalisasikan pembayaran bunganya, sedangkan bagi bank kreditur dalam negeri tidak bisa memperoleh fasilitas tersebut atau dengan kata lain diperlakukan tidak berimbang/adil (unequal treatment), padahal menurut bank-bank, kreditur Pemerintah juga memberikan jaminan yang sama. (Baca: Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin Divonis 2 Tahun Penjara)

Tekanan IMF dan World Bank yang selalu mengkritik ketidaklancaran program penjaminan dan terakhir dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani pada tanggal 14 Mei 1999 menyebutkan dalam salah satu butir kesepakatan LoI bahwa tagihan antar bank bagi peserta rekapitalisasi sudah harus selesai pada tanggal 28 Mei 1999. Laporan tertulis misi IMF sejak bulan November 1998 menegaskan perlunya pembayaran klaim dipercepat agar program rekapitalisasi perbankan tidak tertunda.

Selain itu perwakilan IMF dan World Bank yang ada di Jakarta berulang-ulang kali meminta perubahan SKB I agar syarat administrasi dalam pembayaran klaim dapat diperlunak atau dihilangkan. Setelah mendapatkan banyak kritikan dan tekanan baik dari dalam negeri maupun internasional, pada tanggal 14 Mei 1999, SKB I kemudian diperbaiki dengan SKB II yang pada pokoknya mengatur bahwa khusus untuk BBO/BBKU tidak diwajibkan menyampaikan pemberitahuan ketidakmampuan membayar.

Joko Tjandra kemudian membeli hak tagih Bank Bali yang merupakan bank swasta (karena sampai saat ditandatanganinya Perjanjian Penyelesaian Cessie, Bank Bali belum direkap oleh pemerintah, sehingga belum ada sepeserpun uang negara yang masuk ke Bank Bali). berdasarkan Perjanjian Cessie No. 002/PEGP/I-99, tanggal 11 Januari 1999 dan Perjanjian Penyelesaian No. 007/BB/CL/VI/1999 dan No. 008/BB/CL/VI/1999 tanggal 9 Juni 1999 di mana semua perjanjian-perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat PT Bank Bali Tbk dan PT Era Giat Prima sebagai para pihak.

Pembayaran yang diterima oleh PT Bank Bali Tbk adalah dana yang sudah seharusnya diterima oleh Bank Bali sebesar Rp.904.642.428.369,00 oleh Pemerintah/BPPN, di mana tagihan tersebut telah di-cessie-kan kepada PT Era Giat Prima. Uang yang diterima oleh Bank Bali dari BPPN bukanlah uang negara, melainkan murni kewajiban BDNI yang diambil alih oleh Pemerintah. Di lain pihak, BDNI telah menyerahkan asetnya sebesar Rp27,3 triliun sebagaimana tertuang dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement tanggal 21-9-1998.

Tags:

Berita Terkait