Melihat Legalitas Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Indonesia
Terbaru

Melihat Legalitas Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Indonesia

Prinsipnya perkawinan sah merujuk Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Bagi pasangan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri, terdapat jangka waktu satu tahun setelah perkawinan tersebut dilakukan untuk dicatatkan di Indonesia. Ada empat cara yang ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Head of Litigation Familaw Indonesia Sendy Renia Sitohang (bawah) saat menjadi narasumber dalam Instagram Live Hukumonline pada Jumat (5/5/2023) kemarin. Foto: JAN
Head of Litigation Familaw Indonesia Sendy Renia Sitohang (bawah) saat menjadi narasumber dalam Instagram Live Hukumonline pada Jumat (5/5/2023) kemarin. Foto: JAN

Perkawinan berbeda agama merupakan fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Pada umumnya, masyarakat meyakini perkawinan sah di mata agama dan hukum jika pasangan memiliki agama yang sama. Sementara, masyarakat masih belum memahami legalitas perkawinan berbeda agama. Lantas bagaimana status perkawinan beda agama menurut hukum Indonesia?

Head of Litigation Familaw Indonesia Sendy Renia Sitohang, menyampaikan perkawinan beda agama masih terdapat kekosongan hukum. Hal ini karena dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, perkawinan hanya sah jika dilakukan sesuai dengan satu agama dipilih pasangan perkawinan.

“Kalau ditanya pada pendapat saya pribadi, ada kekosongan hukum dalam perkawinan beda agama. Perkawinan itu sah jika dilakukan dalam masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya,” ungkap Sendy dalam Instagram Live Hukumonline pada Jumat (5/5/2023) kemarin.

Baca juga:

Karena rumitnya birokrasi agar perkawinan beda agama dapat sah, Sendy menjelaskan masyarakat memilih untuk melakukan perkawinan di luar negeri. Selain itu, terdapat juga praktik perkawinan beda agama yang dicatatkan sesuai dengan satu agama yang ditundukan. “Misalnya, ada yang kawin dengan Islam dulu lalu Kristen. Kemudian, pencatatannya sesuai dengan agama yang ditundukan atau disepakati,” ujarnya.

Dalam pengaturan perkawinan agama, terdapat juga benturan dengan kebebasan beragama bagi setiap individu warga negara. Sendy menyarankan agar masyarakat tidak melakukan perkawinan beda agama tersebut. Salah satu kendalanya dalam hal perwarisan misalnya. Sendy berpandangan dalam pembagian perwarisan acapkali terjadi perselisihan. Selain itu, perkawinan beda agama juga menimbulkan kerancuan dalam pencatatannya.

“Saya sarankan jangan karena ada benturan psikologi, kepastian hukum dan kewarisan,” imbuhnya.

Meski demikian, imbauan tersebut sulit dipaksakan karena perkawinan merupakan kebebasan memilih yang dapat dilakukan setiap individu. Karena itu, Sendy menjelaskan pasangan dapat memohonkan kepada pengadilan agar perkawinan beda agama dapat dicatatkan dalam dokumen negara.

Tags:

Berita Terkait