Melihat Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif di Pengadilan
Utama

Melihat Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif di Pengadilan

Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA ini mengatur penerapan keadilan restoratif dalam penanganan perkara tindak pidana ringan, perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak, dan narkotika di pengadilan negeri.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Setelah membuka persidangan hakim membacakan catatan dakwaan serta menanyakan pendapat terdakwa dan korban. Selanjutnya hakim melakukan upaya perdamaian. Dalam hal proses perdamaian tercapai, para pihak membuat kesepakatan perdamaian, ditandatangani oleh terdakwa, korban, pihak-pihak terkait dan kesepakatan perdamaian dimasukkan ke dalam pertimbangan putusan hakim.

Penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui keadilan restoratif dapat dilakukan dengan ketentuan telah dimulai dilaksanakan perdamaian antara pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait yang berperkara dengan atau tanpa ganti kerugian.

Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil, hakim tunggal melanjutkan proses pemeriksaan. Selama persidangan hakim tetap mengupayakan perdamaian dan mengedepankan keadilan restoratif dalam putusannya. Keadilan restoratif tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang berulang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perkara anak

Penanganan perkara mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; PP No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun; Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Setiap penetapan diversi (penyelesaian perkara di luar pengadilan) merupakan wujud keadilan restoratif. Dalarn hal diversi tidak berhasil atau tidak memenuhi syarat diversi, hakim mengupayakan putusan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur Pasal 71-82 UU No. 11 Tahun 2012.

Setelah pembacaan dakwaan, hakim proaktif mendorong kepada anak/orangtua/penasehat hukum dan korban serta pihak-pihak terkait (Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan/PK Bapas, Pekerja Sosial/Peksos, Perwakilan Masyarakat) untuk mengupayakan perdamaian. Dalam hal proses perdamaian tercapai, para pihak membuat kesepakatan perdamaian. Selanjutnya ditandatangani anak dan/atau keluarganya, korban dan pihak-pihak terkait dan kesepakatan perdamaian dimasukkan dalam pertimbangan putusan hakim demi kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman berupa tindakan, hakim wajib menunjuk secara tegas dan jelas tempat atau lembaga dengan berkoordinasi kepada PK Bapas, Peksos, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, selanjutnya disingkat menjadi UPTD PPA (dahulu P2TP2A).

Dalam hal pelaku anak yang belum berusia 14 tahun dan menghadapi permasalahan hukum, hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan yang meliputi: pengembalian kepada orang tua; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan Surat Izin Mengemudi; dan perbaikan akibat tindak pidananya.

Tags:

Berita Terkait