Melihat Peluang dan Tantangan Menuju Bauran Energi Baru dan Terbarukan
Utama

Melihat Peluang dan Tantangan Menuju Bauran Energi Baru dan Terbarukan

Berbagai persiapan dan komitmen dibutuhkan agar bauran EBT dapat terealisasi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Hukumonline menggelar webinar bertema Peluang dan Tantangan Menuju Bauran Energi Baru dan Terbarukan 23% 2025 pada Senin (30/5). Foto: MJR
Hukumonline menggelar webinar bertema Peluang dan Tantangan Menuju Bauran Energi Baru dan Terbarukan 23% 2025 pada Senin (30/5). Foto: MJR

Seiring terus meningkatnya dampak perubahan iklim, Indonesia berupaya berpartisipasi dalam mengurangi dampak perubahan iklim dunia dengan menetapkan target Bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Berbagai persiapan dan komitmen dibutuhkan agar bauran EBT dapat terealisasi. Lantas, Bagaimana kesiapan dan komitmen pemerintah dalam mencapai 23% Bauran EBT di tahun 2025?

Untuk menjawab hal tersebut, Hukumonline menggelar webinar “Peluang dan Tantangan Menuju Bauran Energi Baru dan Terbarukan 23% 2025” pada Senin, 30 Mei 2022. Hadir sebagai pemateri dalam acara tersebut yaitu Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Harris Yahya dan Lahendong Manager Planning and Engineering PT Pertamina Geothermal Energy, Jati Permana Kurniawan.

Dalam materinya, Haris menjelaskan terdapat kondisi yang mendorong penerapan bauran EBT. Penyebabnya yaitu akibat fluktuasi harga dan suplai batubara dan gas alam, dunia saat ini mengalami krisis energi. Turunnya suplai batubara domestik di awal tahun 2022 berdampak pada terganggunya pasokan listrik PLTU batubara dan pemberlakuan larangan ekspor sementara. Selain itu, Haris menjelaskan emisi karbon dioksida yang dihasilkan pun semakin besar. Menurut data IEA sebesar 33 Gt CO2 dilepas ke atmosfer di tahun 2021.

Baca Juga:

Kondisi lain, cadangan bahan bakar dalam negeri yang bersifat operasional hanya cukup untuk 20–23 hari dan tidak ada cadangan penyangga. Cadangan minyak bumi Indonesia 2020 sebesar 4,17 miliar barrel atau 9,5 tahun produksi. Neraca perdagangan migas 2021 defisit sebesar US$ 13,25 miliar. “Sumber daya EBT dengan potensi lebih dari 3.000 GW menjadi opsi menjaga pasokan energi sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim, dan mengurangi defisit perdagangan,” jelas Haris.

Dalam paparannya, Haris menyatakan pemanfaatan EBT saat ini hanya 0,3 persen dari total potensi. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya EBT yang besar, bervariasi, dan tersebar. Potensi tersebut antara lain energi hidro yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kaltara, NAD, Sumbar, Sumut, dan Papua. Energi surya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di NTT, Kalbar, dan Riau memiliki radiasi lebih tinggi. Energi angin (>6 m/s) terutama terdapat di NTT, Kalsel, Jabar, Sulsel, NAD dan Papua. Energi laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama Maluku, NTT, NTB dan Bali. Dan, energi panas bumi tersebar pada kawasan ring of fire, meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.

Hukumonline.com

Sumber: Materi Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, Harris Yahya.

Haris menyatakan pemerintah punya berbagai program untuk mendorong EBT antara lain insentif pajak seperti pada panas bumi. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan kepastian harga pada EBT. Aspek keselamatan kerja juga didorong untuk memberi perlindungan pada SDM di sektor EBT termasuk panas bumi. 

Tags:

Berita Terkait