Melihat Penerapan Syarat Restorative Justice di Kejaksaan
Terbaru

Melihat Penerapan Syarat Restorative Justice di Kejaksaan

Restorative justice tidak berlaku untuk perkara yang sulit dikembalikan seperti keadaan semula seperti kasus kejahatan seksual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kaltim) itu menyebut ada 3 syarat perkara tindak pidana dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan prinsip restorative justice. Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tak lebih dari Rp2,5 juta.

Penerapan restorative justice mempertimbangkan sejumlah hal. Seperti subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana. Kemudian tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana. Selanjutnya cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula, dan ada perdamaian antara korban dan tersangka.

Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya) itu melanjutkan, perkara tindak pidana yang tidak bisa diterapkan keadilan restoratif antara lain kasus yang menimbulkan perhatian masyarakat, dan kejahatan seksual. Oleh karena itu syarat restorative justice sangat jelas karena tujuannya adalah mewujudkan keadilan dengan mengembalikan pada keseimbangan seperti keadaan semula.

Sebelum melakukan restorative justice, Kejaksaan bakal melihat terlebih dulu jenis perkara dan profile pelakunya. Misalnya dalam sebuah kasus yang diterapkan keadilan restoratif di Cimahi, di mana pelaku pencurian kendaraan bermotor melakukan tindakan pidana karena dorongan untuk kebutuhan membeli obat. Setelah melakukan keadilan restoratif, Kajari dan Kajati wilayah setempat hadir dan memberikan bantuan untuk pemulihan kesehatan pelaku.

Sebelumnya, Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Suharto mengakui belum adanya payung hukum yang mengatur khusus restorative justice.  Menjadi persoalan ketika kepolisian, kejaksaan dan MA membat aturan masiing-masing soal penerapan restorative justice. Definis keadilan restoratif yang dituangkan dalam aturan masing-masing instansi penegak hukum pun berbeda, meskipun memiliki tujuan yang sama.

“Jadi definisi (keadilan restoratif, red) belum clear dan bisa diterima semua pihak,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Deputi III Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Sugeng Purnomo berpandangan melihat dari berbagai aturan di masing-masing Apgakum secara prinsip sama. Namun, menjadi pembahasan soal setuju atau tidaknya tentang definisi restorative justice yang dituangkan di masing-masing aturan Apgakum.

Prinsipnya, dalam definisi keadilan restoratif di masing-masing aturan Apgakum memaknai tentang pemulihan korban, hanya saja rangkaiannya memiliki perbedaan. Termasuk soal tindak pidana apa saja yang dapat diterapkan restorative justice. Menariknya, berkembang di Apgakum restorative justice diartikan secara sempit sebatas penghentian atau penyelesaian perkara. “Padahal bukan itu semata-mata kalau bicara restorative justice,” ujarnya

Tags:

Berita Terkait