Melihat Perspektif Kejahatan Fintech Syariah dalam Pidana Islam
Utama

Melihat Perspektif Kejahatan Fintech Syariah dalam Pidana Islam

Penerapan hukum pidana Islam tidak terbatas pada sanksi cambuk. Dilihat secara objektif, hukum pidana Islam mengenal konsep ta’zir yang penerapannya dapat berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Perkembangan financial technology (fintech) syariah semakin menjadi perhatian publik mengingat kebutuhan masyarakat sekaligus pasar muslim yang besar di Indonesia. Tidak berbeda dengan segmen konvensional, fintech syariah juga memiliki risiko pelanggaran hukum dalam kegiatan bisnisnya seperti penipuan dan pencurian data pribadi. Namun, penyelesaian perkara pidana pada fintech syariah tersebut masih menerapkan pidana umum bukan hukum pidana Islam.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof Topo Santoso, menjelaskan pandangan masyarakat mengenai hukum pidana Islam masih sempit terbatas pada hudud, qishas dan diyat. Selain itu, dia mengatakan filosofi hukum Islam bukan hanya pemidanaan retributif. Dia menjelaskan hukum pidana Islam sangat relevan dengan perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial pada saat ini.

“Jika bicara mengenai hukum Islam jangan yang terbayang hanya hukum cambuk saja. Tapi bagaiamana melihat perkembangan saat ini seperti crypto currency, cyber security ditinjau dari hukum Islam, baik dari ekonomi dan pidananya,” jelas Topo, Jumat (21/8).

Dia mengatakan masyarakat harus paham hukum pidana Islam secara objektif, terlebih lagi telah dipelajari dan diterapkan sejak lama dalam pendidikan dan sistem hukum di Indonesia. Sehingga, masyarakat perlu melihat secara luas hukum pidana Islam karena terdapat penerapan sanksi selain hudud dan qishas yaitu ta’zir yang penerapannya dapat berkembang sesuai kebutuhan. (Baca Juga: Urgensi Penerapan RegTech dan SupTech pada Industri Fintech)

“Jadi persoalan pidana islam hudud, qishas dan diyat hanya 12 hukum pidana saja. Selebihnya, ta’zir yang berkembang sesuai kebutuhan masyarakat dan manusia. Masyarakat sering mengkritisi punishment hukum pidana Islam tapi tidak masuk pada prinsip-prinsipnya, nilai-nilai, filosofi hukum pidana Islam. Sering kali bilang hukum pidana Islam langsung radikal. Padahal di berbagai kampus, barat sekalipun hukum pidana Islam diajarkan,” kata Topo.

Dia menjelaskan fintech syariah sangat berkaitan dengan hukum ta’zir yang sebenarnya sudah terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sanksi pada perundang-undangan lainnya. Menurutnya, penegasan hukum Islam tersebut diperlukan agar tidak ada dalih dari pelanggar yang menyatakan hukum perundang-undangan sebagai hukum thagut.

Sehingga, Topo mengatakan saat terjadi pelanggaran, penegak hukum tetap menjatuhkan sanksi kepada pelanggar dalam fintech syariah seperti ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan saat ini.

Tags:

Berita Terkait