Melihat Perspektif Kejahatan Fintech Syariah dalam Pidana Islam
Utama

Melihat Perspektif Kejahatan Fintech Syariah dalam Pidana Islam

Penerapan hukum pidana Islam tidak terbatas pada sanksi cambuk. Dilihat secara objektif, hukum pidana Islam mengenal konsep ta’zir yang penerapannya dapat berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

“Jadi berbagai jenis kejahatan itu kalau ditinjau dari konsep Islam masuk dalam ta’zir semua jenis kejahatan, pelanggaran dan tidak termasuk hudud, qishas dan diyat maka masuk ta’zir. Itu sudah banyak aturannya. Penegakan hukumnya sesuai dengan perundang-undangan itu karena sudah memenuhi tahsiniyah (tersier), hajiyah (sekunder) dan dharuriyah (primer),” jelas Topo.

Praktisi hukum dan partner kantor hukum KarimSyah Law Firm, Mirza Karim, menjelaskan payung hukum fintech syariah juga berlandaskan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini mengatur secara umum setiap jenis fintech P2P seperti fintech syariah dan konvensional. Kemudian, fintech syariah juga mengacu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 117/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

Perbedaan paling mencolok antara keduanya terlihat antara lain dalam penerapan bunga atau riba. Umumnya, fintech syariah tidak mengenakan bunga pada peminjam sehingga transaksi antara investor, perusahaan fintech syariah dan peminjam bersifat kerja sama. Nantinya, terdapat sistem bagi hasil bagi setiap pihak pada kerja sama dengan tenor yang disepakati.

Setidaknya terdapat enam jenis akad yang diperbolehkan dalam fintech syariah. Pertamaal-bai' (jual-beli) yaitu akad antara penjual dan pembeli yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan obyek yang dipertukarkan (barang dan harga). Kedua, ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran ujrah atau upah.

Ketigamudharabah yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (shahibu al-maaf yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola ('amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Keempat, musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana modal usaha (ra's al-maf dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional.

Kelimawakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (upah). Keenamqardh yaitu akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara yang disepakati.

Mirza menjelaskan berbagai persoalan fintech antara lain maraknya perusahaan fintech tidak terdaftar dan tidak memiliki izin OJK. Kemudian, kewenangan OJK tidak menjangkau perusahaan fintech yang tidak terdaftar dan tidak berizin. Perlindungan nasabah yang belum kuat terkait kerahasiaan data pribadi. Selain itu, kepakaran drafter akad-akad Syariah pada perusahaan fintech.

Tags:

Berita Terkait