Melihat Pertanggungjawaban Hukum bagi Pelanggar dan Kejahatan Lalu Lintas
Utama

Melihat Pertanggungjawaban Hukum bagi Pelanggar dan Kejahatan Lalu Lintas

Terdapat banyak kriteria pertanggungjawaban hukum di peraturan perundang-undangan. Mulai UU 22/2009, KUHP, sejumlah peraturan lain, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Karena itu, penting mengetahui sejumlah informasi kriteria pertanggungjawaban hukum pidana dalam perkara lalu lintas.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, terdapat polarisasi bernama pelanggaran. Terhadap pelanggaran terdapat penindakan dalam bentuk tilang. Kemudian persidangan secara singkat dengan hanya satu kali sidang. Selain itu, dalam persidangan dapat diwakilkan kepada pihak lain yang ditunjuk, dan membayar denda. Sedangkan kejahatan, adalah proses hukum yang dilalui cukup panjang. Mulai penyelidikan, penyidikan, persidangan, penuntutan, putusan. “Seperti perkara biasa,” imbuhnya.

Putusan MA belum konsisten

Dalam konteks pertanggungjawaban hukum, cukup banyak kriterianya di peraturan perundang-undangan. Mulai UU 22/2009, KUHP, sejumlah peraturan perundang-undangan lain, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta putusan peradilan lain. Menurutnya terdapat sejumlah yurisprudensi dan tafsir. Karenanya, penting untuk mengetahui sejumlah informasi kriteria pertanggungjawaban hukum pidana dalam perkara lalu lintas jalan.

Seperti kecelakaan yang disebabkan pegawai perusahaan misalnya yang dituntut secara pidana atau perdata. Sayangnya putusan MA, kata Riki, belumlah konsisten. Misalnya ketika karyawan yang supir perusahaan menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, siapa pihak yang bertanggungjawab secara hukum dan membayar ganti kerugian?

Menurutnya, terdapat 3 perbedaan tafsir. Pertama, pihak yang bertangggung jawab secara hukum perusahaan dan karyawan. Kedua, terdapat pandangan yang mengatakan cukup perusahaan.  Ketiga, hanya karyawan yang bertanggung jawab secara hukum. Perbedaan tersebut menjadi perdebatan. Bagi Riki, pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum hanyalah karyawan yang bertindak sebagai supir.

“Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa perusahaan lalai menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Sepanjang tidak dapat dibuktikan kelalaian, maka perusahaan hanya dapat dibebankan tanggung jawab kerugian, tidak sampai perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Selain itu, perbuatan tersebut tak dapat dimintakan pertanggungjawaban renteng. Sebab, karena karyawan ditugaskan oleh perusahaan menjalankan tugasnya. Bila tanggung jawab renteng, kata Riki, karyawan tak mampu membayar setengah dari yang dibebankan pembayaran ganti kerugian.

Kekurangan

Menanggapi paparan Riki, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Muhammad Teguh Syuhada Lubis memberi penilaian. Dia berpandangan UU 22/2009 telah mengatur secara detil. Menurutnya, banyak persoalan lalu lintas di Indonesia. Jakarta saja, sebagai ibukota negara malah menjadi kota tertib lalu lintas terburuk di dunia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait