Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, juga melihat peraturan beracara di pengadilan yang sudah lawas. Praktik beracara masih menggunakan HIR warisan Belanda. Jadi, ada substansi hukum yang kurang dibuat dengan konsep otoritarianisme zaman dulu masih digunakan sampai sekarang.
(Baca juga: Basuki Rekso Wibowo: Penyusunan Hukum Acara Perdata Nasional Sudah Mendesak).
Masalah itu juga dapat dilihat pada penilaian criminal justice. Menurut Erwin, penggunaan KUHAP yang disusun pada tahun 1981, masa ketika Orde Baru sangat berkuasa, membuat sistem penanganan perkara pidana belum sepenuhnya berjalan pada rel keadilan. Rencana memperbaiki hukum acara pidana belum terealisasi hingga kini. Ini berarti ada persoalan politik hukum nasional. “Ada persoalan komitmen pengambil kebijakan yang berkaitan dengan politik hukum,” ujarnya.
Faktor absennya korupsi tak jauh beda. Nilai Indonesia adalah 0,38 (dalam skala 0-1), dan menempatkan Indonesia pada posisi 97 dari 126 negara. Ada empat subfaktor yang dilihat pada bagian ini yakni pegawai pemerintahan tidak menggunakan kantor pemerintah untuk memperoleh keuntungan pribadi di cabang-cabang lembaga eksekutif, yudikatif, polisi dan militer, serta legislatif. Faktanya, penyelenggara pemerintahan baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang terlibat kasus korupsi relatif masih banyak. Survei penilaian integritas 2017 yang dilansir KPK, misalnya, menunjukkan bahwa 1 dari 10 pegawai melihat/mendengar rekannya menerima suap/gratifikasi.
Indeks persepeksi korupsi Indonesia dalam skala global memang cenderung membaik. Tetapi keterlibatan para pengambil kebijakan seperti anggota DPR, pejabat pembuat komitmen di eksekutif, dan hakim dalam kasus korupsi mengindikasikan masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satu panduan penangan korupsi ke depan adalah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
(Baca juga: Tiga Fokus Pencegahan Korupsi versi KPK).
Pembatasan kekuasaan
Laporan Rule of Law Index 2019 juga memperlihatkan posisi Indonesia pada negara-negara berskor tinggi (high), yakni 29 dari 126 negara. Ranking bagus (skor 0,66) ini diperoleh dengan menggunakan parameter pembatasan kekuasaan pemerintahan. Subfaktor yang dilihat adalah pembatasan aparat pemerintahan oleh peraturan perundang-undangan, pembatasan dari intervensi peradilan, independensi lembaga audit, penjatuhan sanksi kepada aparat pemerintah yang melakukan pelanggaran hukum, adanya pengawasan oleh lembaga non-pemerintahan, dan proses transisi pemerintahan yang selalu merujuk pada hukum dan perundang-undangan.
Indonesia juga patut bergembira melihat ranking 47 dari 126 untuk faktor atau parameter open government. Ini berarti Indonesia sudah dianggap sebagai salah satu negara yang pemerintahannya terbuka. Ini tak lepas dari akses masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan, keterlibatan Indonesia dalam Open Government Partnership (OGP), dan penyelesaian sengketa informasi melalui Komisi Informasi yang diamanatkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Malahan, untuk parameter regulatory enforcement, Indonesia didapuk pada posisi 43/126, dengan skor 0,55. Penilaian ini berkaitan dengan kepatuhan pada peraturan dan mekanisme administratif. Posisi medium diperoleh Indonesia untuk dua parameter lain yakni order and security, dan fundamental rights.