Melihat Putusan Peradilan Hong Kong terkait Kecelakaan di Perairan Indonesia
Kolom

Melihat Putusan Peradilan Hong Kong terkait Kecelakaan di Perairan Indonesia

Khususnya terkait pembatasan tanggung jawab Pertamina dalam kecelakaan tersebut. Sudah waktunya untuk memperbaharui hukum maritim Indonesia.

Dalam sengketa terkait kecelakaan yang diajukan ke Pengadilan Hong Kong itu, Pertamina berupaya untuk membatasi tanggung jawabnya sehubungan dengan biaya wreck removal atas kapal CENTURION. Pertamina dalam hal ini mencoba menafsirkan paragraf lain pada Konvensi yang memungkinkan pembatasan tanggung jawab sehubungan dengan kerugian konsekuensial/consequnetial loss karena pengoperasian kapal (Pasal 2 Ayat 1 (d) Konvensi). Pertamina berpendapat bahwa pembatasan biaya wreck removal juga dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari kerugian konsekuensial akibat dari Kecelakaan yang pada dasarnya disebabkan oleh pengoperasian kapal ANTEA.

Langkah Pertamina ini ditentang oleh pemilik CENTURION yakni Trevaskis Ltd. Sebagaimana termuat dalam Putusan Hong Kong, Majelis Hakim memenangkan pihak CENTURION/Trevaskis Ltd dan menyatakan bahwa upaya penafsiran yang didalilkan Pertamina tidak dapat diterima karena akan menggagalkan tujuan Hong Kong untuk tidak membatasi kewajiban dalam hal biaya wreck removal dengan menangguhkan pemberlakuan Pasal 2 ayat 1(d) Konvensi.

Penilaian dari Perspektif Hukum Indonesia

Terlepas dari kandasnya upaya Pertamina untuk membatasi tanggung jawabnya terkait dengan kecelakaan, kita dapat mencatat bahwa Pertamina telah memilih forum pengadilan asing yaitu pengadilan Hong Kong untuk menyelesaikan sengketa.

Pemilihan forum pengadilan asing oleh Pertamina dapat diduga diakibatkan oleh kondisi di Indonesia saat ini yaitu: (i) masih belum meratifikasi Konvensi yang memungkinkan pihak untuk membatasi tanggung jawabnya terkait klaim di bidang maritim; dan (ii) kesulitan untuk mengaplikasikan ketentuan pembatasan pertanggungjawaban pemilik kapal dalam klaim maritim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

Untuk lebih spesifik, pembatasan pertanggungjawaban pemilik kapal dalam klaim maritim ditentukan dalam Wetboek van Koophandel voor Indonesie (Kitab Undang – Undang Hukum Dagang/KUHD) yang belum diubah sejak kemerdekaan Indonesia dan tentunya sudah sangat ketinggalan zaman. Hal ini jelas terlihat dari ketentuan pembatasan pertanggungjawaban pemilik kapal berdasarkan tonase dalam Pasal 474 KUHD yang menyebutkan “…maka tanggung jawabnya (pengangkut/pemilik kapal) tentang kerugian yang ditimbulkan kepada barang-barang yang diangkut dengan kapal tersebut, adalah terbatas sampai sejumlah lima puluh rupiah tiap-tiap meter kubik isi bersih kapal tersebut…”. Akibatnya, masih terdapat kekosongan hukum dalam menafsirkan jumlah batasan pertanggungjawaban berdasarkan ketentuan dalam KUHD tersebut. 

Melihat situasi di atas, penerapan pasal tersebut tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri mengingat minimnya referensi (misal putusan pengadilan tentang penafsiran dari pasal tersebut), dan akan sangat bergantung pada diskresi dari Hakim yang menangani perkara.

Oleh karena itu, keputusan Pertamina untuk memilih forum pengadilan asing menjadi dapat dimengerti dengan memperhatikan kondisi peraturan perundang-undangan tentang batasan tanggung jawab dalam klaim di bidang maritim yang lebih maju dan jelas di negara lain, dibandingkan dengan ketentuan dalam negeri.

Tags:

Berita Terkait