Melihat Rencana Penerbitan Perppu PKPU dan Kepailitan di Masa Kedaruratan Bencana
Kolom

Melihat Rencana Penerbitan Perppu PKPU dan Kepailitan di Masa Kedaruratan Bencana

Perppu nantinya akan diintegrasikan menjadi Bab khusus Kedaruratan Bencana dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

Bacaan 7 Menit

Dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhirnya, maka kebijakan relaksasi melalui POJK itu tentu tidaklah cukup mengingat kebijakan tersebut ditujukan kepada perbankan dan debiturnya. Sementara Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memberi kemudahan bagi kreditur (konkuren) untuk mempailitkan debitur. Untuk itu sambil melanjutkan pembahasan Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menjadi prioritas penyelesaian di tahun ini, Presiden memandang perlu menerbitkan Perppu untuk mencegah kepailitan.

Sejalan dengan itu, sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa sesuai konstitusi terbitnya Perppu haruslah dilandasi dengan adanya kegentingan yang memaksa. Untuk itu, sebaiknya materi muatan Perppu difokuskan pada pengaturan kepailitan dan PKPU di masa kedaruratan bencana, yakni berupa temporary measures yang dapat mengatasi kecenderungan tingginya kepailitan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam hal ini, kebijakan hukum yang dipilih dapat berupa: a) moratorium kepailitan namun tetap membuka PKPU; atau b) moratorium terhadap kepailitan dan PKPU dalam jangka waktu tertentu.

Pilihan melakukan moratorium (baca: postponement) kepailitan namun tetap membuka PKPU dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan sektor keuangan, khususnya lembaga perbankan selaku kreditur untuk melakukan restrukturisasi melalui forum PKPU. Pilihan ini memiliki risiko tinggi, yaitu apabila tidak tercapai perdamaian antara debitur dengan kreditur dalam proses PKPU tersebut, maka secara otomatis debitur akan masuk dalam keadaan insolven dan diputus pailit oleh pengadilan. Di mana terhadap putusan ini tidak dapat dilakukan upaya hukum sama sekali. Selain itu dalam putusan PKPU, debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan serta memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya, sehingga akan kehilangan kepercayaan (trust) dari stakeholders.

Sedangkan, pilihan moratorium kepailitan dan PKPU dalam jangka waktu tertentu, dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Pandemi Covid-19 merupakan kondisi force majeure yang telah menimbulkan dampak terhadap perekonomian nasional, yang menyebabkan kesulitan seluruh sektor usaha baik mikro, kecil, menengah dan besar untuk dapat membayar utang-utangnya, sehingga sangat mudah untuk dipailitkan.
  2. Besarnya jumlah permohonan kepailitan dan PKPU yang berdasarkan data pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri yang menaungi Pengadilan Niaga, yakni dari April 2020 hingga Juli 2021 telah mencapai jumlah 1.111 (seribu seratus sebelas) permohonan kepailitan dan PKPU, yang tentunya akan terus bertambah.
  3. Sesuai catatan World Bank yang diterbitkan pada tanggal 8 Maret 2021 kebijakan moratorium kapailitan dan PKPU dalam waktu tertentu telah dilakukan oleh beberapa negara, seperti Jerman, Inggris, Belanda, Singapura, Perancis, Selandia Baru, bahkan beberapa negara telah melakukan perpanjangan.
  4. World Bank menyatakan bahwa temporary measures berupa moratorium kepailitan dan PKPU dalam masa pandemi merupakan hal yang wajar, sehingga tidak akan mempengaruhi penilaian kemudahan berusaha (EoDB), ataupun menurunkan kepercayaan investor asing, sepanjang Pemerintah memberikan penjelasan yang komprehensif dan memiliki kepastian waktu berlakunya temporary measures

Selain pertimbangan tersebut, dengan tidak dilakukannya kebijakan temporary measures, maka akan berdampak luas terhadap program relaksasi OJK yang telah mengucurkan dana sangat besar, yakni hingga bulan Juli 2021 telah mencapai lebih dari Rp1.480 Triliun.

Sebagaimana dipahami bahwa dalam pelaksanaan kebijakan moratorium kepailitan dan PKPU untuk jangka waktu tertentu tersebut, tidak menghilangkan hak kreditur untuk tetap dapat menagih utangnya. Dalam hal ini kreditur tetap memiliki forum untuk penyelesaian utang, antara lain melalui: a) negosiasi dengan debitur di luar pengadilan (out of court debt settlement), b) melakukan eksekusi jaminan secara langsung, dan c) pilihan forum penyelesaian sengketa baik melalui arbitrase sesuai dengan perjanjian/kontrak, ataupun gugatan wanprestasi ke pengadilan negeri.

Tags:

Berita Terkait