Melihat Rencana Penerbitan Perppu PKPU dan Kepailitan di Masa Kedaruratan Bencana
Kolom

Melihat Rencana Penerbitan Perppu PKPU dan Kepailitan di Masa Kedaruratan Bencana

Perppu nantinya akan diintegrasikan menjadi Bab khusus Kedaruratan Bencana dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

Bacaan 7 Menit

Dengan demikian moratorium dan PKPU dapat dijadikan pilihan kebijakan yang tepat dan berkeadilan di masa kedaruratan bencana, khususnya pada pendemi Covid-19. Di mana debitur tetap dapat menjalankan usahanya tanpa ancaman kepailitan, dan kreditur tetap dapat melakukan penyelesaian utangnya.

Merujuk pada hal-hal di atas, maka pandangan menyatakan bahwa lahirnya Perppu kepailitan dan PKPU di masa kedaruratan bencana sebagai: a) bentuk intervensi yang bukan kekuasaan pemerintah, b) bentuk upaya pemerintah untuk mencabut kesamaan kedudukan di hadapan hukum yang dijamin oleh Pasal 27 UUD 1945 dengan alasan yang tidak penting, dan c) bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang diberikan oleh hukum yang berlaku secara universal dan hak warga negara yang dijamin konstitusi, jelas merupakan kekeliruan dalam berlogika (logical fallacy) yang berbahaya.

Penutup

Melihat dampak pandemi Covid-19 yang belum dapat diprediksi kapan akan berakhir dan kecenderungan peningkatan permohonan kepailitan dan PKPU, maka kebijakan moratorium (postponement) kepailitan dan PKPU untuk mencegah kepailitan melalui penetapan Perppu Kedaruratan Bencana merupakan suatu keniscayaan. Kebijakan hukum ini tidak saja mendapat dukungan dari organisasi pengusaha yang secara langsung berhadapan dengan kreditur-kreditur konkuren (kecil) yang mengajukan permohonan kepailitan atau PKPU, tetapi juga dukungan dari organisasi dan personil kurator dan pengurus yang merasa terpanggil untuk turut serta dalam menyelamatkan pembangunan ekonomi nasional, meskipun harus kehilangan pekerjaan selama postponement.

Selanjutnya Perppu itu nantinya diintegrasikan menjadi Bab khusus Kedaruratan Bencana dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Sejalan dengan itu, pembahasannya dapat terus dilanjutkan dengan memperhatikan rekomendasi dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk World Bank. Hal ini diperlukan agar perubahan tersebut, khususnya pengaturan tentang penambahan syarat bagi pemohon kepailitan dan PKPU, tidak menurunkan kepercayaan investor asing dan peringkat kemudahan berusaha (EoDB) Indonesia terkait indikator penyelesaian kepailitan (resolving insolvency).

*)Kolier L. Haryanto, Kurator Ahli Utama Kementeriaan Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait