Melihat Tren Perkembangan Fashion Advokat di Indonesia
Utama

Melihat Tren Perkembangan Fashion Advokat di Indonesia

Dari standar tidak berdasi dan tidak berjas, berlanjut ke standar safari pada tahun 1970-an, sampai mulai standar berdasi dan jas pada pertengahan 1980-an. Bagi mayoritas advokat berlaku “dress like a lawyer” dengan segala variasinya, kecuali advokat yang sangat sukses.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Hukumonline.com

(Alm) Adnan Buyung Nasution semasa hidup. Foto: ABNP Law Firm. 

Ia menjelaskan “Abang Buyung”, panggilan akrab (Alm) Adnan Buyung Nasution kala itu, mengenakan setelan safari dengan memakai kemeja dan dasi di dalamnya. Gaya kancing kemeja paling atas biasa dibiarkan terbuka serta dasi yang tidak diikat ketat. “Mungkin simbolik anti-establishment atau mungkin juga karena belum semua tempat pakai AC saat itu dengan pakaian berlapis seperti itu. Banyak juga lawyers yang tiru gaya Abang Buyung,” kata dia.

Lalu pada pertengahan 1980, mulai banyak advokat yang mengenakan batik. Idwan menerka mungkin game change yang terjadi ialah batik karya (Alm) Iwan Tirta yang merupakan seorang sarjana hukum, mantan advokat, serta mantan dosen hukum internasional waktu itu. Untuk tren batik sendiri menjadi andalan yang terus bertahan hingga saat ini, bahkan di masa mendatang.

Sebagai pilihan yang paling ‘aman’, tiap batik tetap memiliki sejumlah perbedaan dalam hal kualitas, potongan, dan bahan. Meski pada akhirnya tetap akan kembali lagi pada ‘taste and style’ dari advokat yang bersangkutan serta kesan yang hendak disampaikan kepada klien dan lingkungan. Namun pemakaian batik bagi kalangan advokat ketika bertugas hanya berlaku khusus di Indonesia karena di luar negeri bisa saja batik dianggap busana yang kurang formal.

How and what to wear adalah bagian yang tak terpisahkan dari personal. Dulu personal branding tidak penting di profesi lawyer, sedangkan sekarang semakin penting. Lawyer harus memorable sampai ke cara berpakaian tapi in a good way pastinya,” ujar Idwan.

Hukumonline.com

Advokat senior Juniver Girsang.

Bukan tanpa alasan, terhitung dari 40 detik ketika pertama kali bertemu akan dapat membentuk persepsi seseorang yang dalam hal ini klien terhadap advokat. Apalagi 40 detik dirasa terlalu singkat untuk membuktikan kompetensi profesional advokat. Sehingga dimulai dari penampilan yang sekiranya dapat memberikan kesan yang positif menjadi penting.

Berbeda dengan profesi bidang lain, cara berpakaian advokat sepatutnya dapat mendukung kompetensi profesional dan status khusus officium nobile yang disandang. “Tetap. Tidak boleh terlalu fashionista atau bling, sehingga bisa counter productive. Banyak lawyers lupa trust is my bond sebagai bagian dari pesan penampilan secara keseluruhan,” kata dia.

Hukumonline.com

Founding Partner Kantor Hukum SSEK Indonesian Legal Consultants Ira Andamara Eddymurthy.  

Meski demikian, sebetulnya di dunia profesi advokat terdapat pengecualian cara berpakaian. Terdapat beberapa advokat yang tidak berpakaian “like a lawyer”. Biasanya advokat yang sudah amat sukses dan telah bekerja keras sampai orang-orang tidak lagi peduli dengan cara berpakaian advokat yang bersangkutan. “Hal tersebut berlaku bagi segelintir kalangan advokat, tapi tetap bagi mayoritas advokat berlaku “dress like a lawyer” dengan segala variasinya.”

Tags:

Berita Terkait