Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit
Kolom

Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit

Rencana ini harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan pemahaman yang benar dari sisi hukum dan praktik bisnis, serta melihat fakta secara keseluruhan tanpa terkecuali.

Bacaan 6 Menit

Presiden seharusnya menempatkan dirinya sebagai Kepala Negara ketika akan mengamandemen UU Kepailitan dan PKPU apalagi jika dalam bentuk Perppu, dengan terlebih dahulu menyampaikan rencananya kepada Mahkamah Agung. Tetapi yang dilakukan oleh Presiden memposisikan dirinya sebagai Kepala Pemerintahan dengan menyelenggarakan Rapat Terbatas, dan memerintahkan anggota kabinet di bawahnya untuk membahas dan mengatur penghentian sementara upaya hukum permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang merupakan kewenangan lembaga yudikatif.

Hal ini merupakan krisis konstitusi, di mana kekuasaan eksekutif, menghentikan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan yudikatif secara sepihak. Sekalipun Mahkamah Agung tidak keberatan, bukan berarti pemerintah bisa bebas melanggar tertib bernegara.

Kepailitan dan PKPU untuk Kepentingan Debitor dan Kreditor

Harus dipahami, hukum kepailitan diciptakan, dan diatur sejak zaman Romawi kuno sampai dengan saat ini ditujukan untuk menyelesaikan financial distress debitur, dan secara bersamaan juga menyelesaikan tagihan yang tidak terbayar milik kreditor. Sehingga dapat dipastikan hukum kepailitan dan PKPU tidak berbicara tentang kepentingan debitor saja atau kreditor saja, tapi keduanya.

Titik objektivitas itu dijaga dalam persyaratan kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), dan persyaratan PKPU yang diatur dalam Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU. Jadi dapat disimpulkan, permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU yang dikabulkan oleh pengadilan niaga pasti diakibatkan adanya debitur yang tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Sehingga bagaimana mungkin pemerintah akan melindungi debitur yang tidak bayar utang yang telah jautuh tempo dan dapat ditagih. Seharusnya pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk melakukan intervensi terhadap hubungan kontraktual antar privat agar diberikan kelonggaran (relaksasi) dalam pembayaran utang atau kewajiban selama pandemi Covid-19. Bukan dengan mengintervensi yang bukan kekuasaan Pemerintah.

Selain itu, pengajuan permohonan kepailitan dan PKPU bukan hanya hak dari kreditur, tetapi juga hak dari debitur untuk mengajukannya sebagai cara lepas dari financial distress(voluntary petition) yang mana hal ini diatur dalam UU Kepailitan di seluruh negara di dunia. Serta, dalam konteks Indonesia dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, kesamaan kedudukan di hadapan hukum yang tidak bisa dicabut oleh pemerintah dengan alasan yang tidak terlalu penting.

Saya sendiri dalam dua tahun ini mendampingi tiga perusahaan yang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU. Dua di antaranya adalah permohonan debitur sendiri (voluntary petition). Sulit terbayangkan jika usul penghentian sementara ini direalisasikan pemerintah. Karena hal ini akan melanggar hak manusia yang diberikan hukum yang berlaku universal dan hak warga negara dijamin konstitusi, yaitu hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU secara sukarela (voluntary petition) karena itu merupakan cara yang dibenarkan hukum untuk menyelesaikan financial distress yang dialami subjek hukum.

Tags:

Berita Terkait