Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit
Kolom

Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit

Rencana ini harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan pemahaman yang benar dari sisi hukum dan praktik bisnis, serta melihat fakta secara keseluruhan tanpa terkecuali.

Bacaan 6 Menit

Krisis Ekonomi Membutuhkan Kemudahan Pailit dan PKPU

Sejalan dengan argumentasi sebelumnya, krisis ekonomi di level bisnis pasti menimbulkan financial distress bagi debitur. Financial distress dapat dipersonifikasikan seperti darah mati dalam tubuh manusia yang harus disalurkan dan dikeluarkan dari tubuh, jika dibiarkan akan berbahaya.

Demikian juga ketidakmampuan membayar utang, dalam ilmu manajemen dan ilmu akuntansi utang ini harus ada jalan penyelesaiannya. Dalam hukum diartikan sebagai hak untuk mendapatkan kebebasan untuk memilih punya harta tapi punya utang, atau melikuidasi harta untuk membayar utang.

Sejalan dengan argumentasi di atas, pemerintah harus belajar pada sejarah. Ketika krisis moneter dan krisis ekonomi tahun 1997, maka salah satu cara jitu yang disarankan oleh International Monetary Fund (IMF) adalah membuat UU Kepailitan dan PKPU yang memudahkan proses kepailitan dan PKPU, yang menggantikan Peraturan Kepailitan Belanda (Failesement Verordering) yang mengatur syarat kepailitan yang berat. Yaitu dengan dengan diterbitkannya Perppu 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998, yang kemudian diamandemen minor menjadi UU No. 37 Tahun 2004. Cara ini terbukti berhasil mengatasi financial distress para debitur, dan menggerakkan lagi industri perkreditan, serta dunia usaha.

Syarat kepailitan dan PKPU yang memudahkan ini juga berhasil menyelamatkan Indonesia melalui masa krisis ekonomi tahun 2008. UU Kepailitan dan PKPU berhasil membuat dunia usaha tetap bergerak dan likuid dengan menjadi saluran atas permasalahan ketidakmampuan debitur membayar utangnya. Jika pemerintah memaksakan untuk menghentikan sementara permohonan kepailitan dan PKPU, maka Pemerintah harus berhadapan langsung dengan fakta sejarah tersebut. Meskipun bisa jadi sejarah tidak selalu berulang.

Moral Hazard dalam Kepailitan dan PKPU

Moral hazard ada dalam setiap aspek ekonomi, hukum dan politik di Indonesia. Termasuk di proses kepailitan dan PKPU, pengamatan saya pribadi menunjukan kepailitan dan PKPU dengan sistem voting-nya, kemudian kontradiksi kepailitan bisa damai dan PKPU bisa pailit, serta permasalahan pengawasan kurator dan pengurus. Menjadikan upaya hukum permohonan pernyataan pailit dan PKPU menjadi pisau bermata dua. Karena tidak jarang upaya ini digunakan oleh salah satu pihak (debitur atau kreditur) untuk sesuatu tujuan yang buruk (negative way). Pihak yang menggunakannya untuk negative way adalah pengusaha itu sendiri baik dalam kapasitas sebagai debitur atau kreditur. Adapun pengurus, kurator, dan advokat terkadang menjadi kaki tangan atau pesuruh saja. Meskipun dalam beberapa kasus mereka ini menjadi inisiatornya.

Permasalahan ini bukan masalah baru, sudah ada sejak UU Kepailitan dan PKPU pertama kali diundangkan pada tahun 1998. Saya pribadi selalu mengangkat isu ini dalam forum ilmiah dan profesional sejak tahun 2017. Bahkan, salah satu materi yang akan amandemen dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah isu ini. Yaitu pentingnya pengawasan kurator dan pengurus, mengingat UU Kepailitan dan PKPU ini tidak mungkin mengatur pengusaha yang jahat, karena ini adalah ranah penegak hukum. Maka, yang dapat diatur adalah bagaimana menciptakan dan menjamin kurator dan pengurus independen dan berintegritas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Tetapi hal ini tidak menjadi perhatian pemerintah. Buktinya sejak naskah akademik selesai akhir tahun 2018, sampai dengan dibentuknya Panitia Antar Kementerian membutuhkan waktu 1 tahun lebih. Dengan kata lain, isu moral hazard yang sudah lama ada ini dilakukan pembiaran oleh pemerintah, dengan tidak menjadikan amandemen UU Kepailitan dan PKPU sebagai prioritas. Saat ini ketika telah menjadi perhatian Pemerintah, sayangnya pemahamannya salah.

Rencana Pemerintah untuk menerbitkan Perppu (saya tidak masuk pembahasan apakah pengaturan dalam bentuk Perppu tepat atau tidak, karena bukan keahlian saya), atau merevisi UU Kepailitan dan PKPU di bawah Kemenko Perekonomian harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan pemahaman yang benar dari sisi hukum dan praktik bisnis, serta melihat fakta secara keseluruhan tanpa terkecuali. Agar mendapatkan perspektif yang benar dan memutuskan dengan benar pula, tindak lanjut dari usulan dari kalangan pengusaha untuk menghentikan sementara permohonan kepailitan dan PKPU. 

*)Teddy Anggoro, Pengajar Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Pokja Penyusunan Naskah Akademik Amandemen UU No. 37 Tahun 2004, Anggota Panita Antar Kementerian Penyusunan RUU Amandemen UU No. 37 Tahun 2004.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait