Memahami Akibat Hukum Perceraian Qabla Al-Dukhul
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Memahami Akibat Hukum Perceraian Qabla Al-Dukhul

Perceraian qabla al-dukhul memiliki banyak dampak negatif.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

Dari tiga putusan yang dikutip soal perceraian qabla al-dukhul yaitu putusan Nomor 968/Pdt.G/2021/PA.Lmj, putusan 258/Pdt.G/2020/MS.Jth dan putusan Nomor 258/Pdt.G/2020/MS.Jth, memang mewajibkan suami memberi mut’ah, nafkah dan waris kepada istri yang diceraikan. Kondisi tersebut dianggap belum memberi rasa keadilan.

Putu berpendapat seharusnya hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya didasarkan pada aturan yang berlaku saja, baiknya juga pertimbangan hati nurani dapat dilibatkan dalam kasus perceraian qabla al-dukhul, namun tidak semua kasus rata diterapkan, masih dilihat dan dipertimbangkan kasus demi kasus.

“Apabila memungkinkan untuk kasus perceraian qabla al-dukhul yang tidak berkaitan dengan alasan perzinaan, hakim dapat memberikan tambahan putusan mengenai mut’ah kepada istri yang diceraikan,” jelas Putu.

“Hal yang dapat menjadi pertimbangan adalah sebagai bentuk penghargaan dari sisi kemanusiaan, terutama jika diketahui si-istri tidak memiliki penghasilan atau tidak berkecukupan. Bagaimanapun juga wanita yang diceraikan akan sakit hatinya dan memperoleh stigma negatif di dalam masyarakat, bukan hanya si-wanita tetapi juga keluarganya, maka pemberian mut’ah sebagai bentuk hadiah pelipur hati dan memelihara jalinan hubungan baik meskipun sudah bercerai,” tambahnya.

Menurutnya, pemberian mut’ah ini akan dapat menghilangkan prasangka atau fitnah yang berkembang di masyarakat, serta akan memberikan perasaan kasih sayang dan saling memaafan satu sama lain. Pemberian mut’ah ini juga dapat menjauhkan rasa penyesalan dan kekecewaan atas perceraian yang terjadi, sehingga mut’ah dapat berfungsi sebagai bentuk kemanusiaan dan kenang-kenangan yang memberi penghargaan kepada perempuan.

Putu menyampaikan pada dasarnya suatu perceraian yang diajukan ke pengadilan terjadi dalam kondisi suami-istri bertikai, artinya ada keterlibatan emosional dan bahkan mengarah kepada kemarahan atau dendam. Hal yang teramat sulit untuk meminta suami memenuhi kewajibannya saat terjadi perceraian qabla al-dukhul, apalagi didukung dengan perangkat hukum yang membebaskan suami dari pemenuhan mutah, nafkah, dan waris atas perceraian qabla ql-dukhul tersebut.

Sehingga, dia menilai hal yang dapat dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. “Suami perlu diingatkan bagaimana ia saat meminta ke keluarga wanita untuk menjadikannya sebagai istri, maka pada saat mengembalikannya pun harus dilakukan secara baik-baik dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Persoalan pemberian mut’ah dan pemenuhan nafkah kepada istri yang diceraikan memang menjadi keikhlasan dari suami untuk memenuhinya atau tidak,” jelas Putu.

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan mengenai pemulihan nama baik istri yang diceraikan dan keluarganya, persoalan ini yang kadang tidak dihiraukan pihak suami dan keluarganya. “Bentuk penguatan untuk suami melaksanakan kewajibannya memang harus ditetapkan oleh hakim dalam amar putusannya, tanpa adanya suatu ketetapan maka jaminan kepastian untuk dapat dilakukan pemenuhan kewajiban suami atas pemenuhan hak-hak istri sulit untuk dilakukan,” jelas Putu.

Tags:

Berita Terkait