Memahami Hukum Pidana Adat Masyarakat Baduy dalam Konteks Pembaruan KUHP
Resensi

Memahami Hukum Pidana Adat Masyarakat Baduy dalam Konteks Pembaruan KUHP

Di tengah upaya revisi KUHP, buku ini hadir menawarkan perspektif. Tengoklah hukum yang hidup pada masyarakat, bagaimana hukum dipatuhi dan membangun suasana damai.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Cover buku tentang pidan adat Baduy. Ilustrasi foto: YUSUF
Cover buku tentang pidan adat Baduy. Ilustrasi foto: YUSUF

Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) dikenal sebagai ahli hukum dan sejarawan Jerman. Tulisan-tulisannya banyak memperkenalkan Hukum Romawi. Di Indonesia, nama von Savigny dihubungkan dengan pandangan mengenai jiwa bangsa atau volkgeist. Ia berpendapat bahwa ada hubungan organik antara hukum dengan wtak atau karakter suatu bangsa. Hukum adalah cerminan dari volkgeist. Hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam Rahim volkgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, melainkan ditemukan.

Kalimat von Savigny yang sering dikutip ialah “Das recht ist und wird mit dem volke, hukum itu hidup dan tumbuh bersama-sama dengan rakyat. Maka, menurut Savigny, yang perlu digiatkan adalah menggali mutiara nilai hukum dalam kandungan kehidupan masyarakat (lihat lebih lanjut buku Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, 2013).

Bagaimanapun pandangan von Savigny itu sejalan dengan ubi societas ibi ius-nya Marcus Cicero (106-34 SM), yang bermakna di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Hukum yang dimiliki masyarakat tertentu, termasuk hukum pidana, mengatur tatanan sosial kehidupan masyarakat. Di Indonesia, ada banyak literatur yang memperlihatkan kajian tentang kehidupan masyarakat adat yang tenteram dengan sistem sosial dan sistem normanya sendiri. Intinya, ketika VOC dan Belanda datang, masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia sudah mengenal tatanan sosial masing-masing. Seperti kata-kata Daniel S. Lev, Indonesianis asal Amerika Serikat, “many legal orders existed, independently within a wide variety of social and political systems”.

Masyarakat adat hidup dalam suasana tenang, harmonis, dan tunduk pada tatanan sosial yang hidup, termasuk apabila ada pelanggaran. Lalu, masuklah Belanda beeserta sistem hukum yang dibawanya. Wetboek van Strafrecht (Wvs), misalnya, diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Hukum baru ini ditransplantasikan ke dalam sistem hukum yang sudah ada. Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (2008) menyebutkan pertemuan dua bentuk hukum yang berbeda bisa sangat dramatis, bukan hanya karena menyatukan dua format hukum yang berbeda, tetapi juga pertemuan antara dua cara hidup dan kultur. Salah satu dampak yang terasa adalah penjatuhan dua kali hukuman terhadap warga yang dianggap melanggar, seperti pernah dialami Sadim bin Samin. Pria asal Kampung Cikeusik ini pernah divonis pengadilan, lalu dijatuhi pidana adat Baduy (hal. 9).

Cerita tentang Sadim bin Samin itulah yang disinggung dalam buku Hukum Pidana Adat Baduy dan Pembaruan Hukum Pidana, yang ditulis akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Ferry Fathurokhman. Ferry, kelahiran 15 Februari, adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Studi magisternya diselesaikan dari Universitas Diponegoro Semarang, dan pada 2014 memperoleh gelar Ph.D dari Kanazawa University. Ferry turun langsung ke Baduy untuk riset buku ini.

Tentu saja, ada sejumlah referensi yang dapat dirujuk untuk sekadar mengenal masyarakat Baduy. Reportase media massa pun sudah banyak. Buku ini menarik karena membahas secara spesifik mengenai hukum pidana adat yang berlaku pada masyarakat Baduy, dan mengaitkannya dengan pembaruan hukum pidana nasional. Selama proses revisi KUHP, pengakuan terhadap hukum adat dalam sistem hukum pidana nasional telah menjadi bagian dari diskursus publik. Di satu sisi, ada pengakuan terhadap ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’, tetapi di sisi lain lambat laun masyarakat adat dipinggirkan seperti tercermin dalam proses legislasi RUU Masyarakat Hukum Adat.

Hukumonline.com

Baduy adalah nama yang diberikan orang luar terhadap masyarakat adat yang tinggal di Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Kanekes mempunyai 59 kampung yang terdiri dari tiga kampung Baduy Dalam, 55 kampung Baduy Luar, dan satu kampung luar Baduy. Masyarakat Baduy Dalam bermukim di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Berapa pun jumlah kampung Baduy, yang jelas Baduy Dalam dan Baduy Luar punya peran masing-masing untuk mempertahankan tatanan sosial masyarakat adat. Baduy Dalam berkewajiban melaksanakan tapa (meneguhkan/melestarikan adat), Baduy Luar bertugas menjadi panamping, yakni menjaga masyarakat Baduy Dalam yang sedang bertapa (hal. 76). Dalam kehidupan ada kewajiban, dan larangan. Larangan-larangan pada masyarakat dilandaskan pada filosofi Baduy “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, yang bermakna panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Filosofi inilah yang diterapkan masyarakat, termasuk dalam berhukum (hal. 77).

Kesulitan menguraikan hukum pidana adat Baduy adalah minimnya dokumentasi perbuatan apa saja yang dilarang, dan siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Penulis buku ini berusaha merujuk pada sejumlah referensi seperti yang diterbitkan Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebah (2004) dan tulisan sejarawan Halwany Michrob (1996). Tidak ada keseragaman pidana adat dalam tulisan yang lengkap, sehingga penulis juga terjun ke lapangan. Adakalanya jenis tindak pidana sudah spesifik seperti dilarang mencuri, berzina atau merokok; tetapi ada juga yang sangat umum seperti dilarang melanggar adat. Lewat buku ini, Ferry berupaya menjelaskan beberapa di antara jenis tindak pidana, dan bagaimana hukum formalnya.

Bisa jadi, sulit bagi orang luar untuk memahami jenis perbuatan tertentu yang dilarang, semisal larangan bersekolah atau larangan menggunakan kendaraan. Tetapi, pasti ada filosofi yang mendasari larangan itu menurut masyarakat adat Baduy. Di situlah antara lain letak pentingnya membaca buku ini. Penulis telah berjasa mendokumentasikan sebagian di antaranya, dan mengaitkannya dengan pembaruan hukum pidana nasional. Upaya semacam ini adalah bagian dari dokumentasi hukum pidana adat Baduy, seperti yang direkomendasikan penulis juga (hal. 150). Apa saja jenis-jenis tindak pidana yang dikenal masyarakat Baduy, membaca buku Ferry ini adalah cara terbaik mengenal dan memahaminya.

Selamat mambaca!

Tags: