Memahami Konsep Business Judgment Rule dalam Risiko Pidana Direksi BUMN
Utama

Memahami Konsep Business Judgment Rule dalam Risiko Pidana Direksi BUMN

BUMN harus berhati-hati dalam penggunaan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Dalam buku ‘Potret Business Judgement Rule Praktik Pertanggungjawaban Pengelolaan BUMN’, terdapat formulasi dalam penyelesaian kerugian keuangan perusahaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 01/PHPU-PRES/XVII/2019 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dapat dijadikan titik tolak dalam penyesuaian formulasi penyelesaian kerugian keuangan perusahaan.

Dalam artikel Hukumonline berjudul “Business Judgment Rule, Jembatan Perlindungan Direksi BUMN”, setidaknya terdapat dua formulasi atau bentuk tata cara yang ditawarkan yang dibedakan berdasarkan BUMN/ holding BUMN dan anak perusahaan/subholding

Pertama, penyelesaian kerugian keuangan perusahaan BUMN-Holding. Hukum berfungsi menilai pelaksanaan business judgement rule dan upaya hukum yang efektif, yakni menggunakan hukum keuangan negara, hukum pidana dan hukum perdata.

Kedua, penyelesaian kerugian keuangan anak perusahaan/subholding. Indikator penyelesaikan kerugian keuangan perusahaan di anak perusahaan/subholding terlebih dahulu dilakukan berdasarkan penilaian melalui dua indikator yang bersifat kumulatif. Yakni indikator tanpa penyertaan BUMN. Kemudian indikator tidak menerima fasilitas negara.

Bila dua indikator tersebut tidak terpenuhi, maka mekanisme penyelesaiannya berlaku formula pertama. Sebaliknya, bila dua indikator terpenuhi, maka mengikuti pola penyesuaian formulasi kedua. Nah, agar mekanisme penyelesaian kerugian keuangan anak perusahaan/subholding dapat berjalan, maka terlebih dahulu didukung dengan peraturan internal perusahaan.

Karenanya, pengaturan-pengaturan ke depannya dibuat dengan berbasis kompetensi dan profesionalisme. Sebaliknya, peraturan yang tidak berbasis kompetensi dan profesionalisme berdampak bertumpunya kewenangan yang berlebihan pada suatu fungsi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)/ Satuan Pengawas Intern (SPI). Hal tersebut tak sejalan dengan perubahan paradigma yang diarahkan Presiden dan direalisasikan oleh aparat penegak hukum untuk mengedepankan upaya pencegahan (non-penal).

Pengaturan Perusahaan yang belum berbasis kompetensi akan menghasilkan suatu output penilaian yang tidak objektif dan tidak profesional. Padahal, hasil penilaianya sangat berpengaruh pada penentuan sikap direksi untuk bertindak. Secara sederhana, idealnya fungsi legal counsel di suatu BUMN terlibat aktif. Bahkan, berkewajiban menganalisis unsur-unsur pasal dalam dugaan pelanggaran.

Kemudian, fungsi auditor dengan keilmuannya pun berkewajiban menganalisa persoalan yang sama dengan perspektif ekonomi sesuai kompetensinya. Kolaborasi fungsi tersebut mengikuti pola aparat penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki unit forensik keuangan tersendiri. Serta terpisah dengan unit penyidik. Dengan demikian, menghasilkan suatu analisis yang profesional.

Analisis fungsi hukum dilaksanakan dengan mengedepankan ‘presumption of no liability’ sebagai penguatan ‘separate entity’ dalam korporasi. Karenanya, pengkajian mendalam terhadap unsur subjek dan perbuatannya sangatlah penting. Perbuatan dimaksud, dipahami sebagai pemenuhan unsur perbuatan melawan hukum yang mengandung elemen ‘fraud’ dan konflik kepentingan. 

Hasil analisa ekonomi dan hukum kemudian dikolaborasikan dan dirangkum dalam satu laporan yang isinya memberikan pandangan mengenai mekanisme penyelesaian kerugian keuangan perusahaan. Menjadi penting, sebab mekanisme kerugian keuangan perusahaan dapat dilakukan melalui upaya penal dan nonpenal.

Tags:

Berita Terkait