Memahami Lagi Aspek Pengaturan dan Implementasi Justice Collaborator
Berita

Memahami Lagi Aspek Pengaturan dan Implementasi Justice Collaborator

Justice Collaborator merupakan instrumen penting untuk meringkus pelaku kelas kakap melalui kerjasama penegak hukum dengan pelaku kelas teri.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Dakwaan Kasus e-KTP Bakal Ungkap Peran ‘Orang-Orang Besar’)

 

Semendawai mengatakan bahwa di Negara asal lahirnya Justice Collaborator, yakni Amerika Serikat tidak terjadi hal yang demikian. Menurutnya, sejak awal sudah ada plea bargain (kesepakatan) antara penuntut, tersangka yang akan menjadi Justice Collaborator dan hakim terkait dengan hukuman yang akan pelaku peroleh sebagai Justice Collaborator sehingga ada konsistensi dan kepastian hukum dalam hal ini.

 

Lantas mengapa pelaku utama tidak dapat dijadikan sebagai Justice Collaborator? “Justru kalau pelaku kelas kakap yang kita seret untuk meringkus pelaku kelas teri, pelaku kelas kakap bisa lolos dengan cepat dari jeratan hukum dan tidak jera untuk dapat mengulangi perbuatannya,” katanya.

 

Semua pihak pastinya berharap kerjasama penegak hukum dengan pelaku kelas teri dapat mengakibatkan tertangkapnya pelaku utama, sehingga organisasi kejahatan dapat berhenti beroperasi. Hal ini juga sesuai dengan tujuan Justice Collaborator itusendiri, yakni untuk menangkap pelaku kelas kakap dengan bekerjasama dengan pelaku kelas teri.

 

Menurut Semendawai, idealnya dalam suatu tindak pidana antara tersangka atau terdakwa dengan saksi atau alat bukti itu seharusnya berbeda. Namun yang jadi masalah adalah bila dalam suatu peristiwa sulit untuk mendapatkan saksi, bahkan tidak ada saksi maka pelaku kejahatan tidak bisa diseret ke pengadilan atau tidak bisa diproses.

 

“Sehingga agar proses hukum masih dimungkinkan berjalan adalah dengan memanfaatkan pelaku kejahatan yang lain,” tuturnya.

 

Dalam praktik berhukum di Indonesia, yang selama ini dilakukan adalah menjadikan tersangka atau terdakwa lain sebagai saksi dalam status sebagai saksi mahkota. Namun, konsep saksi mahkota ini seringkali melanggar HAM karena seringkali mereka memberikan kesaksian karena terpaksa. Sedangkan Justice Collaborator harus atas kemauannya sendiri.

 

Kemudian, jika pelaku ingin memberikan kesaksian secara sukarela maka harus ada take & give atau benefit atas proses tersebut. Di antara benefit yang bisa diperoleh yakni mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibanding pelaku lain yang tidak termasuk sebagai Justice Collaborator. “Selain itu, pelaku ingin mendapatkan perlindungan, mendapatkan pengurangan hukuman serta mendapatkan pembebasan bersyarat,” ujar Semendawai.

 

Namun dalam kondisi Justice Collaborator berbohong, Semendawai mengatakan bahwa si pelaku telah melakukan tindak pidana berupa memberikan keterangan palsu. Di samping itu, berbagai bentuk hak yang diterima pelaku sebagai Justice Collaborator harus dicabut.

 

Tags:

Berita Terkait