Memahami Tugas Dokter Forensik di Balik Kematian
Berita

Memahami Tugas Dokter Forensik di Balik Kematian

Hasil kerja ahli forensik sangat membantu untuk mengungkap jati diri korban kejahatan. Pelaku lebih gampang ditelusuri. Ahli forensik bekerja di lahan yang bagi sebagian orang menjijikkan. Tapi bisa mendapat apresiasi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit

 

Tubuh manusia yang diperiksa para ahli forensik adalah barang bukti terjadinya kejahatan. Meskipun sudah menjadi mayat, dokter, aparat penegak hukum atau siapapun harus memperlakukan mayat tersebut baik. Perlakuan demikian tegas dirumuskan dalam pasal 133 ayat (3) KUHAP. “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat”. Tentu saja, pembuktiannya dilakukan dalam proses persidangan.

 

Ahli forensik bertugas mengidentifikasi korban baik mengenai jenis kelamin, perkiraan usia, penyebab luka, dan kematian. Metode lawas yang biasa dipakai dokter dan para ahli forensik adalah Sisti Bertillon. Metode ini merujuk pada Alphonse Bertillon (1853-1914). Ilmuan Perancis yang mengembangkan antropometrik untuk mengidentifikasi seseorang berdasarkan ciri fisik dan photografi. Dasar pemikiran Bertillon adalah meskipun seseorang bisa berganti identitas berulang kali, ia tidak dapat mengubah elemen-elemen tertentu dalam tubuhnya. Sistim identifikasi penjahat ala Bertillon menggunakan ukuran tubuh, warna mata, rambut, dan kulit. Belakangan sistim yang dikembangkan Bertillon semakin meluas setelah DNA ditemukan. Proses identifikasi oleh ahli forensik semakin mudah. “Tidak ada orang yang sama pola DNA-nya,” jelas dokter Djaja Surya Atmadja.

 

Kalau mayat korban kejahatan masih utuh, tentu saja, lebih gampang diidentifikasi melalui ciri-ciri fisiknya. Kalangan kedokteran menyebutnya sebagai dimorfisme seksual. Apalagi kalau ada peralatan khusus yang menjadi ciri korban. Misalnya cincin, anting, atau tato. Mayat pria yang pernah ditemukan di bus Mayasari Bhakti dua tahun silam terkuak antara lain karena tato macan di tangan korban. Korban diidentifikasi sebagai Hendra. Setelah korban diidentifikasi ahli forensik, polisi lebih mudah melacak pelaku. Dan pelaku mutilasi tubuh Hendra tak lain adalah isterinya sendiri, Sri Rumiyati. Ahli forensik berhasil mengidentifikasi meskipun kepala korban tak berhasil ditemukan.

 

Kalau dibutuhkan untuk proses identifikasi lanjutan, dokter forensik melakukan pembedahan terhadap mayat. Pasal 134 KUHAP memberikan panduan atas pembedahan. Keluarga korban wajib diberitahu rencana pembedahan. Yang wajib memberitahukan bukan dokter forensik, melainkan penyidik. Kalau keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan secara jelas maksud dan tujuan pembedahan. Kalau dalam dua hari tidak ada jawaban dari keluarga korban, atau tak diketahui keluarganya, maka dokter forensik boleh melakukan pembedahan guna mengidentifikasi siapa korban dan apa akibat tindakan pelaku terhadap tubuh korban.

 

Tubuh korban pembunuhan atau mutilasi adalah “saksi diam” yang banyak ‘berbicara’ kepada aparat penegak hukum. Para dokter forensik adalah ahli yang bisa menerjemahkan bahasa saksi diam melalui ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Dokter Djaja Surya Atmadja, dokter Mun’iem Idris, dokter Handoko Tjondroputranto, dokter Amar Singh adalah segelintir dari banyak ahli forensik yang menyumbangkan keahliannya untuk membuka tabir kejahatan. Sumbangsih mereka berguna bagi pengembangan ilmu hukum ke depan.

Tags: