Memaknai Pancasila Sebagai Staatfundamentalnorm
Kolom

Memaknai Pancasila Sebagai Staatfundamentalnorm

Upaya internalisasi Pancasila dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya harus dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik masyarakat yang berkembang pesat saat ini.

Bacaan 5 Menit

Dari teori Prof Hamid Attamimi tersebut terlihat bahwa Pancasila merupakan norma fundamental negara yang memiliki nilai filosofis tinggi terkait dengan moral bangsa dan negara. Kedudukannya juga sebagai ideologi negara. Dalam sistem hukum Pancasila sebagai recthtsidee (cita hukum) yang menjiwai setiap norma peraturan perundang-undangan. Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 mengatur bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Ketentuan ini menuntut bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Tantangan Eksistensi dan Internalisasi

Meskipun sistem ketatanegaraan menempatkan Pancasila pada posisi fundamental, kewaspadaan untuk mempertahankan dan menginternalisasikan pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mutlak terus diupayakan. Kemajuan teknologi dan informasi menghapus batas jarak yang membuka ruang komunikasi lebih intensif. Interaksi yang terjadi secara global tersebut berpengaruh pada aspek ideologi, sosial, politik dan budaya yang berdampak pada perluasan spektrum ancaman bagi sendi-sendi negara. Termasuk eksistensi dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Terbukanya ruang interaksi melalui media sosial dengan bebas baik global maupun nasional menumbuhkan ideologi-ideologi lain yang tidak sejalan dengan nilai-nilai fundamental bangsa Indonesia. Aksi-aksi berupa terorisme, radikalisme maupun separatism masih sering terjadi di Indonesia. Tidak hanya soal nilai, tetapi juga sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sikap yang bersumber dari budaya asing mudah masuk meskipun bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya bangsa.

Apabila mencermati dinamika masyarakat akhir-akhir ini, hampir bisa dipastikan bahwa seluruh sila dalam Pancasila memiliki tantangan masing-masing. Sebagai contoh, sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" dihadapkan pada radikalisme dan lunturnya telorensi antar umat beragama. Sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dihadapkan pada menurunnya sikap kepedulian antar sesama.

Sila ketiga "Persatuan Indonesia" mempunyai tantangan dengan makin besarnya polarisasi dan fragmentasi dengan latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Sila keempat "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan" menghadapi tantangan pemaksaan kehendak oleh satu golongan. Sila kelima "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dihadapkan pada tantangan makin menurunnya semangat gotong royong di antara masyarakat.

Tantangan yang dituliskan tersebut hanya sebagian saja. Masih bisa ditemukan contoh sikap lainnya yang menjadi tantangan bagi pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Pada intinya terdapat beragam tantangan yang kompleks yang berhubungan ketahanan Pancasila baik dari sisi eksistensi maupun internalisasi nilai-nilainya dihadapkan pada dinamika masyarakat saat ini.

Para pendiri negara (founding fathers) telah merumuskan dan menyepakati Pancasila sebagai ideologi dan dasar bernegara. Rumusan nilai yang terkandung dalam Pancasila memiliki nilai universailitas sehingga tidak terbatas pada ruang dan waktu pelaksanaannya. Selain itu, perumusan yang dilakukan dalam semangat juang tinggi untuk merebut kemerdekaan juga menunjukkan bahwa nilai Pancasila di dalamnya terkandung niat untuk mempertahankan Indonesia sebagai satu bangsa dan negara.

Tags:

Berita Terkait