Memaknai Pembatasan Imunitas Pejabat Negara Pasca Putusan MK
Kolom

Memaknai Pembatasan Imunitas Pejabat Negara Pasca Putusan MK

Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 telah memperjelas pemaknaan mengenai tidak adanya “kerugian negara” dalam kebijakan pembiayaan, stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional di masa Pandemi Covid-19 sepanjang tindakan/keputusan pejabat negara yang melaksanakan Perppu No.1 Tahun 2020 dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 10 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Penyebaran covid-19 yang dinyatakan sebagai Pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan ekonomi dan sosial Indonesia. Hal ini membuat Presiden Jokowi menerbitkan beleid yang kedudukannya setara dengan undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu Nomor 1 Tahun 2020).

Diterbitkannya Beleid tersebut telah direspons oleh beberapa kelompok masyarakat diantaranya Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (“YAPPIKA”) yang menggunakan hak konstitusionalnya mengajukan uji formil dan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 2, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

Disetujuinya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 oleh DPR RI menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 2020 telah menimbulkan pro dan kontra atas pasal-pasal yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang tentu sangat menarik untuk dibahas. Sebab, ada titik singgung antara norma hukum tata negara, hukum administrasi, dan hukum pidana, yang dalam konteks kebijakan publik tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta harus dilihat dengan pendekatan ilmu hukum secara interdisipliner.

Apalagi ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020  ini dianggap dapat memberikan legitimasi untuk pejabat negara melakukan penyalahgunaan wewenang yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Selanjutnya, dalam Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020, MK telah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagian. Diantaranya dengan menjatuhkan Putusan yang menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sehingga Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 selengkapnya menjadi berbunyi:

Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Walaupun MK tidak menjatuhkan Putusan atas Pasal 27 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No.2 Tahun 2020), namun dengan dijatuhkannya Putusan Inkonstitusional Bersyarat atas Pasal 27 ayat (1) jelas sangat berkaitan dengan ketentuan “imunitas” Pejabat Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2). Alasannya karena pemaknaan dari frasa “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undanganakan selalu melekat pada kemungkinan dapat dituntutnya Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, baik secara perdata maupun pidana ketika melaksanakan ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait