Memaknai Pembatasan Imunitas Pejabat Negara Pasca Putusan MK
Kolom

Memaknai Pembatasan Imunitas Pejabat Negara Pasca Putusan MK

Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 telah memperjelas pemaknaan mengenai tidak adanya “kerugian negara” dalam kebijakan pembiayaan, stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional di masa Pandemi Covid-19 sepanjang tindakan/keputusan pejabat negara yang melaksanakan Perppu No.1 Tahun 2020 dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 10 Menit

Yang lebih menarik, dalam diktum ke-4 putusannya, MK justru menambahkan “amanat” bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan, namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.

Berdasarkan uraian di atas, bagaimana seharusnya para pejabat negara dan aparat penegak hukum, serta masyarakat memaknai pembatasan imunitas pejabat negara dalam mengambil suatu keputusan (beschiking) atau tindakan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?

Iktikad Baik dan Menjalankan UU

Menarik dicermati pernyataan dari Menkopohukam RI Mahfud MD pada saat menanggapi pemberitaan tentang Putusan MK No.37/PUU-XVIII/2020, yang mengatakan bahwa putusan MK atas uji materi UU No.2 Tahun 2020 justru menguatkan posisi dan pandangan Pemerintah. Mahfud MD menilai putusan Mahkamah justru membenarkan isi UU tentang Penetapan “Perppu Penanganan Covid-19” tersebut. Sebab, MK tidak menghapus ayat (1) dan (3), tetapi menambahkan frasa yang sudah tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) yakni "Sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Menurut hemat Penulis, pernyataan dari Menkopolhukkam RI Mahfud MD tersebut tentu dapat diterima secara normatif-yuridis. Namun pelaksanaannya di lapangan akan selalu dapat ditafsirkan berbeda-beda. Misalnya, oleh pejabat negara, masyarakat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan juga trio Aparat Penegak Hukum yang diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi, khususnya Pasal 2 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Adanya potensi multiinterpretasi dan kekhawatiran dari pejabat negara yang mengambil keputusan dan tindakan dalam penanggulangan Pandemi Covid-19 diproses secara hukum (pidana) inilah yang disinyalir menjadi Ratio Legis dari pembentukan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 di masa Pandemi Covid-19. Untuk itu, perlu diuraikan  lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud “Iktikad baik” dalam konteks administrasi negara (pemerintahan), dan yang dimaksud frasa “sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”.

Dari penelusuran Penulis, terminologi Iktikad baik awalnya lebih dikenal dalam lapangan Hukum Perikatan (Perdata),  khususnya dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dikenal dengan istilah te goede trouw, yang berbunyi: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dalam perkembangannya, Hukum Administrasi Negara kemudian turut memperkenalkan istilah “Iktikad Baik” dalam Pasal 24  huruf f Undang-Undang No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang sebenarnya salah satu syarat dari penggunaan Diskresi oleh Pejabat Pemerintahan.

Adapun pengertian Diskresi menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraaan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Tags:

Berita Terkait