Membangun Gerakan Masyarakat Sipil Kawal Reformasi Hukum dan Demokrasi
Utama

Membangun Gerakan Masyarakat Sipil Kawal Reformasi Hukum dan Demokrasi

Gerakan masyarakat sipil perlu membangun koalisi kepentingan yang sama dengan melibatkan banyak kampus.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Webinar 22 Tahun PSHK Indonesia bertajuk 'Membangun Imajinasi Bersama Masyarakat Sipil dalam Reformasi Hukum', Rabu (1/7). Foto: AID
Webinar 22 Tahun PSHK Indonesia bertajuk 'Membangun Imajinasi Bersama Masyarakat Sipil dalam Reformasi Hukum', Rabu (1/7). Foto: AID

Pasca reformasi gerakan masyarakat sipil untuk mengawal jalannya sistem demokrasi terus mengalami dinamika dan perubahan. Di awal reformasi, gerakan masyarakat sipil mengalami masa keemasan lantaran posisi masyarakat sipil cukup kuat mengawal jalannya sistem demokrasi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir gerakan masyarakat sipil mulai mengalami stagnan seiring melemahnya sistem demokrasi di parlemen.       

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husudo menilai beberapa tahun terakhir sejak 2014 sampai 2019 terjadi demokrasi agresif yang membawa pengaruh langsung kepada masyarakat. Hal ini disebabkan komposisi pengusaha di parlemen yang menunjukkan proses politik yang keliru dan terlibatnya politisasi aparat penegak hukum dalam isu pemilu mengindikasi demokrasi menurun.

“Hal ini membuat adanya amputasi check and balance karena aktor demokrasi yang kita lihat saat ini melemah,” kata Adnan Topan Husodo dalam Webinar 22 Tahun PSHK Indonesia bertajuk “Membangun Imajinasi Bersama Masyarakat Sipil dalam Reformasi Hukum”, Rabu (1/7/2020).

Mirisnya kondisi saat ini, dia melihat gerakan masyarakat sipil mengalami stagnasi regenerasi, kaderisasi hingga stagnanisasi mengawal isu pemberantasan korupsi yang semakin banyak masalah. “Saya kira perlu membangun rezim antara kelompok reformis dari berbagai tempat posisi dan jabatan. Kita perlu membangun gerakan masyarakat sipil untuk melawan musuh bersama yang fokusnya ada di sektor reformasi hukum,” kata dia.

Dia beralasan selama ini masing-masing organisasi masyarakat sipil belum mendorong perubahan karena dirinya mengira akan menjadi boomerang. “Yang perlu dilakukan membangun koalisi kelompok kepentingan (yang sama, red) dan kita sebagai NGO, saya rasa perlu membangun kerja sama dengan banyak kampus agar bisa memperkuat posisi masyarakat sipil, seperti yang saat ini dilakukan ICW,” ujarnya.

“Kemudian, ada evaluasi kerja bersama secara reguler agar ritmenya bisa lebih tertata dan terjaga. Ini membutukan konsolidasi bersama seperti kongres karena selama ini belum ada keterjalinan satu sama lain antarorganisasi masyarakat sipil.”

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah mengatakan pasca reformasi wajah peradilan Indonesia sudah cukup mengalami perubahan walaupun masih banyak pekerjaan rumah. Seperti, penerbitan salinan putusan masih lama, antar putusan hakim masih banyak inkonsistensi, dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait