Memperkuat Kewenangan BPOM Lewat RUU Pengawasan Obat dan Makanan
Terbaru

Memperkuat Kewenangan BPOM Lewat RUU Pengawasan Obat dan Makanan

Antara lain memperkuat mekanisme pengawasan BPOM, usulan pembentukan BPOM di tingkat kabupaten dan kota, hingga memperjelas jenis sanksinya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Keberadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diatur Peraturan Presiden (Perpres) No.80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Beleid ini dipandang belum cukup kuat dan komprehensif lembaga yang tugasnya mengawasi peredaran obat dan makanan ini. Untuk itulah, melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengawasan Obat dan Makanan, kewenangan BPOM harus diperkuat dengan menambah instrumen dan kewenangan dalam menunjang kerja-kerja pengawasan.

Anggota Badan Legislasi DPR (Baleg) Darori Wonodipuro mengatakan fungsi pengawasan BPOM terhadap peredaran obat dan makanan yang mengacu pada Perpers 80/2017 belumlah optimal. Hal ini terbukti dalam kasus gagal ginjal akut yang dialami anak-anak akibat mengkonsumsi obat sirop mengandung etilen glikol dan dietilen glikol melebihi takaran dimana menunjukan pengawasan BPOM tak berjalan maksimal.

Bahkan, selama beberapa tahun terakhir, Darori merasa tidak melihat adanya pengawasan terhadap obat dan makanan. Justru, peredaran obat -obatan terlalu bebas di masyarakat. Dia mendukung keberadaan RUU Pengawasan Obat dan Makanan yang diusulkan Komisi IX DPR dan berharap betul fungsi dan kewenangan pengawasan dapat diperkuat malalui RUU tersebut.

“Saya mohon disini nanti mungkin agak rinci pengaturan kewenangan dan tanggung jawabnya (terhadap pengawasan obat dan makanan),” ujarnya dalam Rapat Harmonisasi RUU Pengawasan Obat dan Makanan di ruang Baleg, Selasa (8/11/2022) kemarin.

Politisi Partai Gerindra itu berharap fungsi pengawasan obat dan makanan BPOM perlu dilakukan secara masif dan berkala termasuk membentuk tim khusus yang melakukan penyelidikan dan penyidikan (PPNS, red) terhadap obat dan makanan yang ditengarai mengandung bahan baku yang membahayakan konsumen. Meskipun koordinator pengawasannya berada di kepolisian.

“Penyelidikan dan penyidikannya jangan semua diserahkan kepada polisi. Karena polisi tanggung jawabnya sudah cukup banyak,” kata dia.

Anggota Baleg Desy Ratnasari melanjutkan pengawasan yang dilakukan BPOM selama ini belumlah optimal. Dia menyangsikan pengawasan yang dilakukan BPOM apakah sebatas memeriksa sampel barang secara random atau memang melakukan pengecekan secara uji klinis laboratorium. Seharusnya, kewenangan memberi persetujuan terhadap produk mana yang dapat beredar di Indonesia atau tidak harus melalui uji klinis laboratorium.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Saadiah Uluputty sepakat kewenangan BPOM perlu diperkuat. Hanya saja, dia menyarankan keberadaan BPOM perlu dibentuk hingga tingkat kabupaten/kota agar mudah dijangkau masyarakat di daerah. Selain itu, perlu mengatur sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan kejahatan di bidang obat dan makanan yang tidak memenuhi standar makanan dan khasiat mutu obat.

Tak kalah penting, kata Saadiah yang juga duduk di Komisi IV itu, pengaturan pemberian sanksi terhadap BPOM yang memberikan izin edar obat-obatan dan makanan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Untuk itu, pentingnya optimalisasi pengaturan pengawasan pemerintah melalui BPOM untuk mencegah dan menindaklanjuti adanya dugaan kandungan bahan baku yang berbahaya yang dilakukan pelaku usaha farmasi.

Tags:

Berita Terkait