Memperkuat Partisipasi Publik Bermakna Lewat Teknologi
Terbaru

Memperkuat Partisipasi Publik Bermakna Lewat Teknologi

Melalui perkembangan teknologi dan informasi seharusnya dimanfaatkan betul dalam memunculkan model-model partisipasi publik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Meaningful Participation: Challenges and Opportunities in Expanding Civic Space', Selasa (7/6/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Meaningful Participation: Challenges and Opportunities in Expanding Civic Space', Selasa (7/6/2022). Foto: RFQ

Minimnya pelibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan DPR ataupun pemerintah terus menjadi sorotan. Seban, produk legislasi yang dihasilkan berujung diuji materil atau formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penyebabnya, antara lain keterlibatan partisipasi publik secara bermakna tidak dijalankan dengan baik oleh pembentuk UU.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin mengatakan terdapat sejumlah tantangan bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses legislasi ataupun kebijakan. Pertama, adanya jarak antara pembentuk UU dan pemegang kebijakan dengan masyarakat menjadi salah satu kendala. Padahal, sudah menjadi kewajiban pembentuk UU melibatkan peran serta masyarakat untuk memberi masukan dan pandangannya sebagaimana diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.

Kedua, proses legislasi yang kerap didominasi oleh para elitis politik. Menjadi rahasia umum, pembahasan RUU terjadi adanya setengah kamar. Kemudian, dalam proses pembahasan, partisipasi masyarakat menyempit karena pembahasan RUU yang terburu-buru dan malah semakin tertutup. Kecenderungan pembahasan RUU setelah pemerintah menyampaikan pendangannya, DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) dengan jumlah anggota setengah dari jumlah anggota komisi.

Baca Juga:

Berbeda dengan sebelumnya, Komisi membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pemerintah. Sementara Panja hanya membahas isu atau DIM yang mengalami deadlock di tingkat pembahasan. Ketiga, praktik partisipasi yang kurang bermakna. Partisipasi yang dilakukan pembentuk UU dengan mengundang elemen masyarakat sebatas formalitas prosedural.

“Jadi ini semakin menjadi persoalan bisa jadi muncul praktik-praktik yang kurang baik dalam proses pembentukan UU nanti,” ujar Muhammad Nur Sholikin dalam dalam sebuah diskusi secara virtual bertajuk “Meaningful Participation: Challenges and Opportunities in Expanding Civic Space”, Selasa (7/6/2022).

Peneliti Senior Pusat Studi Kebijakan Hukum Indonesia (PSHK) ini menilai sejumlah tantangan yang ada lantaran proses legislasi didominasi politik elit. Karenanya, membutuhkan kreativitas, elaborasi, dan kolaborasi dari berbagai kalangan untuk menjaga ruang partisipasi publik. Setidaknya menjadikan berbagai tantangan menjadi sebuah strategi dalam mengatasi berbagai kendala yang ada demi mendapat penjelasan dan hak untuk didengar secara serius oleh pemerintah dan DPR.

Tags:

Berita Terkait