Mempersoalkan Frasa "Gangguan Lainnya" Sebagai Syarat Penundaan Pemilu
Utama

Mempersoalkan Frasa "Gangguan Lainnya" Sebagai Syarat Penundaan Pemilu

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 431 ayat (1) serta Pasal 432 ayat (2) UU Pemilu terhadap frasa gangguan lainnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Frasa “gangguan lainnya” dalam aturan mengenai syarat penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana tercantum dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Viktor Santoso Tandiasa yang menyebut perkara tersebut dilatarbelakangi kasus konkret adanya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Putusan PN 757/2022).

Dalam putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.Demikian disampaikan Viktor yang hadir langsung dalam sidang perdana pengujian UU Pemilu yang digelar pada Kamis (6/4/2023) kemarin di Ruang Sidang MK seperti dikutip laman MK.

Viktor mengungkapkan kasus konkret tersebut berkaitan dengan adanya frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (2) UU Pemilu yang dinilai multitafsir.

Baca Juga:

Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan, “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan”. Sementara Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan”.

Ia menilai makna frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1), Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu tidak jelas. Artinya, frasa tersebut rentan dimaknai secara multitafsir dan sangat luas karena banyak kondisi yang dapat dimaknai sebagai syarat untuk dapat dihentikannya pelaksanaan pemilu (Penundaan Pemilu). Salah satunya adalah Putusan PN 757/2022 yang menjadi latar belakang kasus konkret dalam permohonan pemohon.

“Fakta yang terjadi yang juga dapat dikategorikan masuk dalam frasa ‘gangguan lainnya’ dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 adalah Putusan PN 757/2022 yang dalam amar putusannya pada angka 5 menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Sementara terhadap amar ke-6 menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad),” terang Viktor.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait