Mempersoalkan Wacana Proporsional Tertutup dalam Pemilu 2024
Terbaru

Mempersoalkan Wacana Proporsional Tertutup dalam Pemilu 2024

Wacana itu dinilai sebagai gagasan kemunduran demokrasi dan kemalasan berpikir maju. Proporsional tertutup sama halnya rakyat dipaksa memiliki kucing dalam karung.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari saat uji materi terhadap UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi agar mekanisme pemilihan calon anggota legislatif menggunakan proporsional tertutup menjadi sorotan. Soal kemungkinan MK mengabulkan uji materi Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu pun menjadi perhatian banyak kalangan partai.

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengakui ada informasi tentang pihak-pihak yang mengajukan uji materi Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu ke MK. Pasal 168 ayat (2) menyebutkan, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”. Menurutnya, pandangan Hasyim apakah menjadi bagian yang mendorong pihak mengajukan uji materi UU Pemilu atau sudah mengetahui MK bakal mengambil putusan yang mengabulkan permohonan pemohon?

Dia berharap MK dapat bersikap objektif dan netral serta memahami posisi UU 7/2017 yang amat kompleks. Menurutnya, UU 7/2017 dan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memiliki keterkaitan antara satu pasal dengan lainnya dan mencerminkan kemajuan sistem politik dan demokrasi. Karenanya bila hendak diubah, mesti melalui revisi UU yang terlebih dahulu dengan kajian serius. “Itulah kenapa dua tahun lalu Komisi II mendorong adanya revisi UU Pemilu,” ujar Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

Politisi Partai Golkar itu berpendapat bila perubahan pasal secara parsial dan sporadis satu atau dua pasal berdasarkan putusan MK bakal menimbulkan kerumitan baru. Bahkan memunculkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Apalagi 2023 sudah memasuki tahapan pemilu. Baginya, hukum kepemiluan di Indonesia seperti tambal sulam serta tidak mencerminkan bangunan sistem politik yang establish dan futuristik. “Itu yang harus menjadi dipertimbangkan oleh MK,” ujarnya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya menilai wacana mengembalikan pemilu dengan sistem proporsional tertutup merupakan bentuk kemunduran demokrasi. Setidaknya wacana tersebut menunjukan ekspresi kemalasan berpikir dalam membangun kemajuan dalam kehidupan berpolitik di tanah air.

Padahal dalam berpolitik dinamis mengarah menjadi lebih baik dan maju, bukan sebaliknya kemunduran. Menurutnya, melalui sistem politik semestinnya memperbaiki tata kelola dan menata ulang di berbagai sektor yang kurang. Bukan malah menggulirkan wacana ke sistem proporsional tertutup.

“Yang terjadi kemunduran luar biasa. Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih ‘kucing dalam karung’,” bebernya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait