Mempertanyakan Tanggung Jawab Pemerintah dan Korporasi dalam Karhutla
Berita

Mempertanyakan Tanggung Jawab Pemerintah dan Korporasi dalam Karhutla

Pemerintah dan korporasi dinilai abai mengantisipasi karhutla. Masyarakat menjadi pihak paling dirugikan akibat kejadian ini.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan persoalan yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Pasalnya, bencana ini terjadi secara berulang pada wilayah-wilayah sama seperti Sumatera dan Kalimantan. Keseriusan pemerintah dan tanggung jawab korporasi dipertanyakan dalam mengatasi permasalahan ini. Kedua pihak tersebut memiliki peran besar terhadap munculnya bencana karhutla ini.

 

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan, mengatakan kebakaran hutan dan kabut asap semakin pekat melanda berbagai daerah di Kalimantan dan Sumatra. Berdasarkan situs SiPongi milik KLHK, tercatat titik api terbanyak muncul di seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan. Saat ini seluruh daerah tersebut terpapar kabut asap beracun.

 

Bahkan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) Palangkaraya sempat tercatat mencapai angka 2000, sangat jauh dari angka indikator batas aman 50 dan indikator berbahaya 300-500 yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.

 

Sehingga, dia meminta agar perusahaan yang lahannya terbakar harus bertanggung jawab atas bencana ini. Hal ini dinilai telah sesuai dengan kewajiban perusahaan saat memperoleh izin usaha, antara lain melakukan pembukaan lahan tanpa bakar, membentuk brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan (brigdalkarhutla), serta menyediakan sarana prasarana pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan yang memadai.

 

“Tanggung jawab perusahaan hendaknya tidak dianggap berhenti ketika api padam, tetapi juga tetap berlaku hingga pemulihan hutan dan lahan selesai dilakukan. Gugatan perdata KLHK terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan sejak tahun 2012 yang dikabulkan oleh pengadilan telah mencapai angka Rp2,72 triliun. Namun, belum ada satupun perusahaan yang menuruti perintah pengadilan untuk membayar ganti rugi. Alhasil, upaya pemulihan pun belum dapat dilaksanakan karena putusan belum dapat dieksekusi,” kata Adrianus.

 

Dia menambahkan pencemaran udara akibat karhutla telah mengakibatkan dampak luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Riau menurut data Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan pada Minggu (15/9) telah mencapai15.346 orang. Ribuan anak sekolah diliburkan.

 

(Baca Juga: Gunakan Strict Liability, Hakim Hukum Perusahaan Ini Ratusan Miliar)

 

Sementara itu, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, Fajri Fadhilah menilai pemerintah tingkat pusat sampai daerah seperti yang diamanatkan Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengendalian Karhutla berkewajiban memitigasi dampak ini. Kewajiban pemerintah ini pun juga ditekankan kembali melalui putusan Citizen Law Suit (CLS) Kebakaran Hutan Kalimantan Tengah yang dimenangkan oleh warga negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait