Mempertanyakan Urgensi Konsolidasi BRI, Pegadaian dan PNM
Berita

Mempertanyakan Urgensi Konsolidasi BRI, Pegadaian dan PNM

Penggabungan tiga BUMN tersebut dianggap tidak tepat karena nasabah akan kehilangan pilihan dalam layanan keuangan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

“Ketiadaan kepemilikan secara langsung ini berarti menjauhkan penguasaan negara atas kekayaan negara dan kepentingan hajat rakyat banyak sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD Republik Indonesia 1945,” jelas Anis.

Anis menjelaskan holding berasal dari inisiatif Kementerian BUMN dengan tujuan agar usaha mikro naik kelas dengan fokus pada pemberdayaan bisnis melalui PNM, dan pengembangan bisnis melalui Pegadaian dan BRI. Menurutnya, dari skema itu terkesan bahwa kendala usaha mikro adalah masalah keuangan. Padahal, kendala yang dihadapi UMKM Indonesia berupa kualitas sumber daya manusia, , akses pemasaran, permodalan, jejaring dan kemampuan teknologi.

Dia menilai kondisi ideal holding khususnya perusahaan milik negara, harus memiliki kajian ilmiah yang mendalam, strategis, dan selaras dengan filosofi bernegara. Kemudian, holding seharusnya tidak hanya sebatas aksi korporasi untuk menambah modal BUMN induk dan meningkatkan kapasitas pendanaan atau menambah porsi utang.  

Anis juga menjelaskan harus dipetakan antara BUMN yang sehat dan tidak efisien. BUMN yang sehat dan berefek positif pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan kerja jangan sampai diindukkan dengan BUMN yang tidak efisien.  “PT Pegadaian Persero sendiri sudah berusia 119 tahun, Pegadaian merupakan salah satu dari 10 BUMN penyumbang deviden terbesar untuk Negara. Dengan aset sehat memiliki rating Perusahaan AAA,” jelas Anis.

Anis menila keberpihakan Pemerintah untuk UMKM hingga saat ini masih rendah, yang terjadi adalah yang kecil kalah bertarung dalam liberalisasi. UMKM Indonesia kurang bersaing dengan negara tetangga, seperti terlihat dari kontribusi yang rendah terhadap ekspor. Demikian pula rasio kredit perbankan untuk UMKM berada di level 18-20 persen.

Angka tersebut jauh di bawah rasio pembiayaan bank terhadap UMKM di Singapura sebesar 39 persen, Malaysia 50 persen, Thailand 51 persen, Jepang 66 persen, dan Korea Selatan 82 persen. “Padahal Bank Indonesia sudah menerbitkan Peraturan BI No.17/12/PBI/2015 yang mewajibkan bank umum wajib mencapai rasio kredit UMKM dari total kredit yang disalurkan minimal sebesar 20 persen,” jelasnya.

Selain itu, holding tersebut juga memiliki konsekuensi hilangnya kendali negara terhadap anak perusahaan karena tidak mempunyai akses langsung kepada BUMN yang telah menjadi perseroan terbatas biasa tersebut. Kewenangan negara terbatas selaku pemegang saham (melakukan tindakan keperdataan) melalui BUMN induknya.

“Ketiadaan akses langsung Negara terhadap PT Pegadaian (Persero), dan PT PNM (Persero) Tbk, yang sudah tidak lagi menjadi BUMN mengurangi fungsi kontrol Negara terhadap BUMN yang saat ini sudah tidak lagi berstatus BUMN. Berkurangnya kontrol Negara terhadap BUMN yang sudah tidak lagi berstatus BUMN (menjadi anak perusahaan dalam sebuah holding BUMN) dapat dilihat dari berkurangnya fungsi pengawasan DPR RI karena anak perusahaan BUMN tidak menjadi mitra kerja Komisi di DPR RI,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait