Mempertanyakan Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional
Terbaru

Mempertanyakan Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional

Pembentukan DKN makin menimbulkan tumpang tindih atau overlapping dengan kerja dan fungsi lembaga lain yang telah ada.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) telah menyodorkan surat dan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Perubahan Wantanas menjadi Dewan Keamanan Nasional (DKN).  Agenda perubahan dan/atau pembentukan lembaga baru itu sedianya agenda lama yang dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas). Tapi mendapat penolakan dari masyarakat sipil. Alhasil, RUU Kamnas pun gagal disahkan menjadi UU, dan berdampak pula terhadap kandasnya pembentukan DKN.

“Dengan demikian, langkah pemerintah saat ini merupakan jalan pintas pemerintah pasca RUU Kamnas gagal disahkan,” ujar anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/8/2022).

Koalisi mempertanyakan urgensi pembentukan DKN. Pasalnya, pembentukan DKN makin menimbulkan tumpang tindih atau overlapping dengan kerja dan fungsi lembaga lain yang telah ada. Setidaknya saat ini telah terdapat lembaga yang melakukan fungsi koordinasi bidang keamanan nasional. Seperti yang dilakukan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).

Isnur menuturkan dalam memberikan nasihat kepada Presiden pun telah terdapat Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), serta Kantor Staf Presiden (KSP). Bila pemerintah tetap keukeuh membentuk DKN, otomatis fungsi lembaga tersebut mesti dibatasi kewenangannya. Misalnya, kewenangannya hanya sebatas memberikan pertimbangan/nasihat kepada presiden.

“Pembentukan DKN yang dilakukan terburu-buru dan terkesan tertutup patut dicurigai bahwa pemerintah sedang membentuk wadah represi baru seperti halnya pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru,” ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Anggota Koalisi, Teo Reffelsen melanjutkan DKN memiliki fungsi pengendalian penanganan krisis nasional. Bahkan kewenangan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan penanganan krisis nasional. Menurutnya, dengan pengendalian keamanan tersebut DKN memiliki kewenangan yang sangat luas yang dapat mengontrol kondisi stabilitas keamanan yang potensial berdampak pada hak asasi manusia. Baginya, fungsi kelembagaan pengendali seperti dewan keamanan nasional sedianya serupa, tapi tak sama dengan Kopkamtib seperti pada masa orde baru.

“Dan ini berbahaya bagi kondisi hak asasi manusia,” katanya.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu merujuk UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Melalui aturan tersebut, pemerintah diminta membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN), bukan DKN. Pasal 15 ayat (1) UU 3/2002 menyebutkan, “Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional”.

Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara”. Sementara pembentukan DPN bakal diatur kemudian melalui keputusan Presiden.

Sayangnya, sejak UU 3/2002 dibuat, pemerintah belum juga membentuk DPN sebagaimana amanat UU Pertahanan Nasional. Sebaliknya, pemeriintah malah keukeuh ingin membentuk dewan keamanan nasional. Bagi koalisi, kata Teo, langkah tersebut malah melenceng jauh dari amanat UU 3/2002. “Kami menilai kehidupan demokrasi hari ini adalah buah dari perjuangan politik kalangan pro demokrasi 1998,” katanya.

Koalisi berpandangan kalangan elit politik terutama yang tengah menduduki jabatan strategis pemerintahan, semestinya menjaga dan memajukan sistem demokrasi. Bukan malah sebaliknya mengabaikan sejarah dan pelan-pelan mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru dengan membentuk DKN. “Dan melakukan revisi UU TNI dengan tujuan melegitimasi penempatan TNI dalam jabatan sipil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait