Mempertegas Sistem Presidensial Harus Membatasi Kuasa Peraturan Menteri
Utama

Mempertegas Sistem Presidensial Harus Membatasi Kuasa Peraturan Menteri

Praktik delegasi dari undang-undang untuk membentuk Peraturan Menteri telah melampaui ketentuan yang diamanatkan konstitusi. Menteri sebagai pembantu Presiden seharusnya memperoleh wewenang delegatifnya dari Presiden, bukan dari undang-undang produk legislatif.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit

Artinya, ada dua keabsahan yang diakui atas terbitnya Peraturan Menteri. Pertama, diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hirarki norma. Kedua, dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki Menteri. Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 mengatakan yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

“Setelah menghimpun datanya dalam grafik, ternyata tahun 2015 sampai 2019 terjadi peningkatan Peraturan Menteri. Terlihat di masa Jokowi ada kekuasaan yang lebih kuat di tangan menteri-menteri dalam pengaturan lebih lanjut bidang hukum,” kata Charles saat dihubungi Hukumonline.

Charles menyimpulkan keberadaan Peraturan Menteri di Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undang sejak era parlementer awal kemerdekaan hingga tahun 1950-an. Secara historis, praktik parlementer masa lalu telah menempatkan menteri sebagai salah satu pelaksana wewenang delegatif undang-undang.

Praktik ala parlementarian tersebut tanpa disadari menggerus kekuasaan legislasi Presiden sejak berlakunya UU No.12 Tahun 2011. “Bandingkan dengan undang-undang sebelumnya di Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004, lebih tertib mengatur soal hirarki. Peraturan Menteri diatur hanya bisa dibentuk jika diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujar Charles.

Itu pun masih ada potensi masalah. Charles menilai Peraturan Menteri harusnya hanya bisa dibentuk untuk keperluan teknis sebagai bagian kekuasaan legislasi Presiden. Perlu ada penegasan terhadap wewenang menteri dalam pembentukan peraturan menteri adalah pelaksanaan dari kuasa legislasi Presiden. Menteri yang berkedudukan sebagai pembantu Presiden dalam bidang eksekutif seharusnya memperoleh wewenang delegatifnya dari Presiden, bukan dari undang-undang produk legislatif.

Wewenang tersebut pun bukan wewenang mandiri yang memberikan keleluasaan bagi menteri dalam membentuk peraturan menteri. “Jika dikaitkan dengan doktrin nondelegasi maka pemberian wewenang kepada menteri melalui undang-undang jelas bertentangan dengan doktrin tersebut,” Charles menambahkan.

Makin Parah di Era Jokowi

Charles membuktikan lonjakan jumlah Peraturan Menteri yang terbit selama era Jokowi. Tampak bahwa para Menteri Jokowi merasa berwenang membentuk peraturan yang isinya bersifat pengaturan (regelling) meski tidak dengan perintah Presiden. Ia mengaitkan celah masalah dari rumusan normatif diperparah dengan cara kerja Menteri-Menteri kabinet Jokowi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait