Memprediksi Pemulihan Ekonomi Akibat Pandemi
Berita

Memprediksi Pemulihan Ekonomi Akibat Pandemi

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meyakini waktu pemulihan dari guncangan ekonomi akibat Pandemi Covid-19 relatif lebih cepat dibandingkan periode krisis yang terjadi pada tahun 1998 maupun 2008.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlanga Hartanto. Foto: RES
Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlanga Hartanto. Foto: RES

Pemerintah terus berupaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di tengah Pandemi Covid-19. Dari sisi sektoral, setidaknya ada 5 (lima) sektor yang perlu didorong, yakni industri pengolahan, perdagangan, pertanian, pertambangan, dan konstruksi. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlanga Hartanto, Kamis (10/9).

“Untuk sektor konstruksi, pemerintah mempersiapkan pembangunan perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) karena ini melibatkan banyak kontraktor di daerah sehingga tentu bisa mendorong perekonomian di daerah,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulis.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, Outlook Ekonomi Indonesia di tahun 2020 diproyeksikan sebesar -1,1% sampai 0,2%, sedangkan pada tahun 2021 diprediksi akan membaik dengan tumbuh di kisaran 4,5% sampai. 5%.

”Berbagai lembaga negara juga menilai bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan akan positif,” imbuhnya. (Baca Juga: Tangani Pailit dan PKPU, Kurator dan Pengurus Diingatkan Azas Keberlangsungan Usaha)

Dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), lanjut Airlangga, sejumlah indikator ekonomi mulai menunjukkan sinyal positif atas pemulihan aktivitas ekonomi, seperti Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang sudah mengalami ekspansi, Indeks Kepercayaan Konsumen, Penjualan Kendaraan Bermotor, Penjualan Ritel, Survei Kegiatan Dunia Usaha, dan Inflasi Inti.

Data per 7 September 2020 menyebutkan, dibandingkan dengan posisi 1 April 2020, kinerja Indeks Saham Sektoral mengalami penguatan di semua sektor kecuali sektor Properti. Sementara dari sisi Pasar Uang, Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar juga mengalami apresiasi sebesar 9,73%.

Airlangga menambahkan bahwa waktu pemulihan dari guncangan ekonomi akibat Pandemi Covid-19 relatif lebih cepat dibandingkan periode krisis yang terjadi pada tahun 1998 maupun 2008. (Baca Juga: DJP Tambah 12 Perusahaan Luar Negeri Sebagai Pemungut Pajak Digital)

“Kalau kita lihat kedalaman dari segi harga saham, di krisis Asia 1997-1998 itu butuh 7-8 tahun untuk kembali ke semula. Kemudian untuk krisis global di tahun 2008, butuh waktu 2 tahun,” terangnya.

Pada periode Krisis Asia 1997-1998, nilai tukar terdepresiasi hingga 566%. Saat periode krisis Global 2008, nilai tukar terdepresiasi hingga 39,6%. Saat ini nilai tukar relatif stabil dan telah bergerak menuju ke level sebelum Pandemi Covid-19.

“Namun kita juga harus melihat gas dan rem. Kita tetap harus menjaga kepercayaan public karena ekonomi ini tidak semuanya faktor fundamental, tapi juga ada faktor sentiment terutama di sektor capital market,” sambung Airlangga.

Ia juga menjelaskan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi membutuhkan rencana jangka menengah hingga tahun 2022-2023. Beberapa program utama yang akan disasar antara lain program yang berkaitan dengan kesehatan, bantuan sosial, padat karya untuk menjaga demand, restrukturisasi, dan transformasi ekonomi.

Di tahun 2021, biaya penanganan Covid-19 akan tetap berfokus pada kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pembiayaan korporasi, serta sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

“Pemerintah Pusat juga mendorong agar masing-masing Pemerintah Daerah menjalankan program, memacu perekonomiannya, serta melakukan belanja barang dan belanja modal. Dengan demikian, secara agregat kita bisa menjaga pertumbuhan,” pungkasnya

Sebelumnya, pandemi Covid-19 juga berpotensi membuat ekonomi Indonesia mengalami resesi. Hal ini pula yang mulai diantisipasi oleh pemerintah. Salah satu isu yang muncul ke permukaan adalah rencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Reformasi Sistem Keuangan.

Dalam konferensi pers daring, Jumat (4/8), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan terkait dengan reformasi sistem keuangan, pemerintah tengah melakukan kajian untuk penguatan kerangka kerja stabilitas sistem keuangan agar langkah penanganan permasalahan pada lembaga jasa keuangan maupun pasar keuangan dapat ditangani dengan lebih efektif dan dapat diandalkan (reliable).

Kajian ini, lanjut Sri, disusun dengan mempertimbangkan perkembangan sektor keuangan saat ini dan asesmen forward looking, termasuk merujuk pada hasil evaluasi simulasi pencegahan dan penanganan krisis yang dilakukan secara berkala oleh KSSK. Setidaknya terdapat 5 usulan penguatan di dalam kajian tersebut.

Pertama, penguatan di sisi basis data dan informasi terintegrasi antar lembaga, termasuk koordinasi antar lembaga dalam pengkinian, rekonsiliasi, serta verifikasi secara lebih intens. Kedua, apabila ditemukan indikasi permasalahan, akan dilakukan pemeriksaan dan evaluasi bersama yang akan menjadi dasar bagi lembaga untuk menentukan langkah antisipatif penanganan permasalahan berikutnya.

Ketiga, penguatan juga dilakukan di sisi instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Keempat, penguatan juga dilakukan di sisi peran LPS, dari sebelumnya sebatas fungsi loss minimizer menjadi risk minimizer. Dalam hal ini LPS dapat melakukan early intervention, termasuk dengan penempatan dana.

Kelima, penguatan dari sisi pengambilan keputusan juga menjadi bagian dari bahan kajian, yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan memperkuat keyakinan bagi anggota KSSK dalam mengambil keputusan.

 

Tags:

Berita Terkait