Keselamatan, keamanan dan kelancaran lalu lintas udara telah menjadi komitmen bersama dari setiap pelaku usaha industri penerbangan, baik penerbangan domestik maupun penerbangan internasional. Berbagai upaya dilakukan oleh organisasi penerbangan dunia yang kini semakin memfokuskan permasalahan pada faktor keselamatan penerbangan.
Hal tersebut dilakukan karena peraturan hukum mengenai penerbangan dirasa rentan dan lemah. Sedangkan, kecelakaan udara tidak dapat dihindarkan, kecelakaan dapat terjadi karena faktor manusia, faktor material, maupun faktor cuaca. Kasus jatuhnya pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang pada Senin (29/10) pagi, di Perairan Tanjung, Karawang menambah daftar kecelakaan penerbangan di Indonesia.
Sejatinya, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan salah satu usaha untuk melakukan pembenahan terkait pemeriksaan terhadap personel penerbangan sipil yang diindikasikan melakukan suatu pelanggaran etika dalam profesi yang sudah dituangkan dalam peraturan keselamatan penerbangan sipil dan berpotensi melanggar ketentuan hukum pidana.
Sehingga, mekanisme pemeriksaan atas personel penerbangan dilaksanakan melalui majelis profesi penerbangan, seperti yang termaktub dalam Pasal 364 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan:
UU Penerbangan Pasal 364: Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi Penerbangan |
Pengamat industri penerbangan, Dudi Sudibyo, menjelaskan bahwa penggunaan transportasi udara kini semakin ramai. Penyedia jasa penerbangan pun kini mudah ditemukan, sehingga pembentukan majelis profesi penerbangan sangat dibutuhkan.
“Dari dulu hingga kini proses pembentukan majelis profesi penerbangan belum terwujud, masih tertunda-tunda. Itu penting,” ujar Dudi kepada hukumonline, Rabu (31/10).