Menagih Sikap Presiden Terhadap Hasil LAHP Ombudsman Soal TWK Pegawai KPK
Terbaru

Menagih Sikap Presiden Terhadap Hasil LAHP Ombudsman Soal TWK Pegawai KPK

Kondisi saat ini bisa menimbulkan selisih paham antara lembaga negara. Selain itu, kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia juga berisiko menurun.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) saat melaporkan salah seorang Anggota Dewas KPK, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) saat melaporkan salah seorang Anggota Dewas KPK, beberapa waktu lalu. Foto: RES

Kondisi pemberantasan korupsi terus menjadi perhatian publik seiring dipublikasikannya hasil temuan Ombudsman RI (ORI) mengenai pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ombudsman menyatakan terdapat berbagai penyimpangan atau maladministrasi mulai dari proses pembentukan aturan teknis Peraturan KPK Nomor 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.

Atas temuan tersebut, Ombudsman merekomendasikan tindakan korektif khususnya kepada KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Namun, kedua lembaga tersebut menolak rekomendasi Ombudsman karena mengganggap proses pelaksanaan TWK sudah berjalan sesuai ketentuan. Selain itu, Ombudsman juga dianggap melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.

Kondisi ini tentunya menimbulkan selisih paham antara lembaga negara. Selain itu, kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia juga berisiko menurun. Salah satu yang diharapkan yaitu Presiden Joko Widodo mengambil sikap mengenai persoalan ini. (Baca: Setelah KPK, BKN Juga Tolak Temuan Ombudsman)

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Gita Putri Damayana, menilai Presiden Joko Widodo harus mengambil sikap untuk menyelesaikan persoalan ini. Menurutnya, perselisihan antara lembaga negara yang terjadi saat ini merupakan salah satu dampak perubahan KPK sejak 2019 khususnya saat pergantian kepemimpinan KPK. Selain Ombudsman, pemeriksaan terhadap TWK KPK juga dilakukan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Sebetulnya yang patut disesalkan, pelaksanaan TWK ini hanya kasus maladministrasi. Padahal yang terjadi adalah bukan kasus maladministrasinya meski yang dilakukan teman-teman ORI sudah betul. Tapi kasus maladministrasi ini hanya puncak gunung es saja dari apa yang sudah terjadi sejak 2019,” jelas Gita.

Seperti diketahui, selain pergantian kepemipinan KPK, terjadi perubahan Undang-Undang 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU 19/2019. Perubahan UU tersebut menimbulkan protes publik karena dianggap melemahkan KPK memberantas korupsi pada 2019.

Sehingga, Gita menilai Presiden Jokowi harus mengambil sikap terhadap kondisi ini. Dia menyatakan terdapat berbagai preseden berhubungan KPK yang mengharuskan Presiden mengambil keputusan. Dia mencontohkan preseden tersebut seperti kasus “Cicak vs Buaya” dan simulator SIM, hingga pembentukan Tim Independen

“Yang bisa dilakukan Presiden Jokowi sangat banyak. Apa yang terjadi di KPK sekarang presedennya bukan tidak ada jika presiden untuk membentuk tim yang purely independen. Tim yang berbeda saat kasus Bang Novel (Novel Baswedan/mantan penyidik KPK). Presedennya itu ada misal kasus “Cicak vs Buaya” dan berikutnya kasus simulator. Waktu itu Presiden SBY bentuk tim independen dan juga bilang kasus simulator SIM, SBY bilang kasus itu yang menangani KPK. Artinya, preseden itu ada ketika Presiden menggunakan kekuasaan eksekutif tertinggi mengambil keputusan,” jelas Gita.

Dia juga mengkhawatirkan berlarut-larutnya permasalahan pada KPK berdampak menurunnya kepercayaan publik terhadap isu pemberantasan korupsi. Salah satu indikator terlihat penurunan posisi Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Indonesian Transparancy International Indonesia (TII). Posisi Indonesia turun dari poin 40 menjadi 37 dan menggeser peringkat Indonesia dari 85 menjadi peringkat 102 dari 180 negara.

Permintaan 518 Pegawai KPK

Sebanyak 518 pegawai aktif KPK meminta agar pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengangkat 75 orang yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). "Kami 518 orang pegawai aktif KPK, di luar 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) meminta pimpinan KPK segera mengangkat pegawai KPK yang dinyatakan TMS menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menunjukkan komitmen KPK untuk patuh dengan hukum yang berlaku," demikian disampaikan perwakilan pegawai KPK dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (16/8).

Dalam pernyataan tersebut, disebutkan bahwa jumlah pegawai aktif yang akan memberikan dukungan dapat terus bertambah sebagai satu tubuh yang tidak terpisahkan dari mereka yang dinyatakan TMS. "Demi menjaga kepercayaan publik serta tidak mengingkari hak konstitusional para pegawai sesuai rekomendasi Ombudsman RI (ORI) yang sejalan dengan arahan Presiden, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 serta amanat Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945," demikian tertulis.

Sejumlah 518 pegawai tersebut juga meminta KPK menjadi percontohan lembaga penegak hukum yang baik dengan melaksanakan seluruh tindakan korektif dari ORI. "Untuk membuktikan pernyataan pimpinan sendiri dalam berbagai forum bahwa tidak ada niat untuk memberhentikan pegawai KPK," ungkap pegawai.

Tags:

Berita Terkait