Menakar Efektivitas Perma Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Utama

Menakar Efektivitas Perma Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

APSI memperkirakan tingkat efektivitas implementasi Perma No.14 Tahun 2016 mencapai 70 persen. Tapi, MA mengklaim pelaksanaan Perma ini sudah semakin baik dan berjalan efektif karena saat ini sudah banyak hakim pengadilan agama tersertifikasi, sehingga lebih siap dibanding awal-awal terbitnya Perma ini.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sudah hampir 5 tahun, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah berlaku. Beleid ini intinya mengatur prosedur atau hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah diantara para pelaku bisnis ekonomi syariah yang terikat perjanjian akad atas dasar prinsip-prinsip syariah yang ditangani khusus hakim pengadilan agama yang sudah tersertifikasi.

Perma yang diteken Ketua MA M. Hatta Ali pada 22 Desember 2016 silam ini sebagai pelaksanaan berlakunya Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai hukum materil. Termasuk kumpulan hukum materil ekonomi syariah yang bersumber dari fiqih muamallah dan fatwa DSN-MUI sebagai amanat Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006  tentang Peradilan Agama yang menambah kewenangan Pengadilan Agama menangani perkara ekonomi syariah.

Kewenangan ini dipertegas setelah keluarnya Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 terkait terpenuhinya jaminan hak nasabah dan unit usaha syariah untuk mendapat kepastian hukum yang adil sesuai amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Putusan MK ini juga memberikan wewenang absolut pengadilan agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah.

Lingkup sengketa ekonomi syariah yang menjadi kewenangan pengadilan agama meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, penggadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, selain mengadili perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat kontensius (gugatan) atau volunteer (permohonan).

Pasal 2 Perma No.14 Tahun 2016 ini menyebutkan perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana (small claim court) atau gugatan acara biasa baik secara lisan maupun tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Agama yang berwenang. Gugatan acara biasa tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, tenggang waktu penyelesaian perkara ekonomi syariah mengacu SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding. Untuk penyelesaian perkara tingkat pertama dan banding paling lambat 5 bulan dan 3 bulan.

Sedangkan, prosedur hukum acara gugatan sederhana mengacu Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang kemudian diubah Perma No.4 Tahun 2019. Perma No. 4 Tahun 2019 ini mengatur pengajuan gugatan dapat diajukan secara lisan tanpa harus diwakili pengacara/advokat; proses penyelesaiannya 25 hari kerja dengan hakim tunggal; nilai materil gugatan maksimal Rp500 juta; memperluas pengajuan gugatan ketika penggugat berada di luar wilayah hukum domisili tergugat; dapat menggunakan administrasi perkara secara elektronik (e-court); mengenal putusan verstek (putusan tanpa dihadiri tergugat); mengenal verzet (perlawanan atas putusan verstek); mengenal sita jaminan; dan eksekusi.   

Perma ini juga mengakomodasi penggunaan teknologi informasi mulai proses pendaftaran gugatan secara online, proses pemanggilan para pihak, pemeriksaan sidang, hingga pemeriksaan ahli dapat menggunakan bantuan teknologi informasi. Hal sebagaimana diatur dalam Pasal 4 jo Pasal 7 jo Pasal 8 jo Pasal 11 Perma No. 14 Tahun 2016 ini. (Baca Juga: Perma Sengketa Ekonomi Syariah Juga Atur Gugatan Sederhana)

Tak hanya itu, Perma ini mengatur pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya melalui pengadilan agama. Termasuk kewenangan pengadilan agama untuk mengeksekusi hak tanggungan dan fidusia yang menggunakan akad syariah. Tapi, tata cara pelaksanaan putusan arbitrase syariah ini masih mengacu UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lalu, bagaimana implementasi Perma No.14 Tahun 2016 selama hampir 5 tahun ini, apakah sudah berjalan efektif?

Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Sutrisno menilai sejak tahun 2016 hingga 2021 ini Perma No.14 Tahun 2016 sudah berjalan efektif menjadi payung hukum dalam proses beracara sengketa ekonomi syariah yang akadnya menggunakan prinsip-prinsip syariah. Ia menjelaskan setiap penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas MUI) dan pengadilan agama. Basyarnas dibentuk atas dasar SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.

“Awalnya banyak sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Basyarnas. Namun, karena Basyarnas MUI belum meluas di berbagai daerah seluruh Indonesia, sengketa ekonomi syariah banyak ditangani pengadilan agama seluruh Indonesia,” kata Sutrisno saat dihubungi Hukumonline, belum lama ini.    

Dia menerangkan dalam praktik instrumen mediasi diterapkan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama. Sebab, instrumen mediasi pun sejalan dan sangat dianjurkan dalam Islam untuk menyelesaikan sengketa. Secara normatif, mediasi ini sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

“Setelah adanya Perma No. 14 Tahun 2016 ini terdapat hakim tersertifikasi, sehingga penanganan sengketa ekonomi syariah semakin efektif di pengadilan agama. Menurut saya, efektivitasnya mencapai 70 persen dari harapan, penanganan di pengadilan agama sudah baik,” ujarnya.

Menurutnya, efektif dan efisiennya proses penyelesaian sengketa ini mendongkrak peringkat Indonesia dalam survei Easy of Doing Business (EoDB) pada tahun 2020 naik menjadi peringkat 73 dari 190 negara yang sebelumnya pada 2014 tingkat EoDB Indonesia menduduki rangking 120 dari 190 negara. “Salah satu instrumen didalamnya melalui prosedur gugatan sederhana (perkara perdata umum, red), termasuk gugatan sederhana dalam perkara sengketa ekonomi syariah.”  

Hakim agama lebih siap

Pandangan APSI tersebut, diamini Ketua Kamar Agama MA, Amran Suadi. Dia melihat perkembangan sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama/mahkamah syar’iyah semakin baik sejak terbitnya Perma No. 14 Tahun 2016. Perma ini payung hukum melengkapi hukum acara perdata, yang berlaku secara khusus mengatur sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama.

“Sejauh ini pelaksanaan Perma No. 14 Tahun 2016 tidak ada kendala dan berjalan efektif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perkara sengketa ekonomi syariah di tingkat kasasi yang masuk ke MA. Indikatornya dapat dilihat dari rata-rata perkaranya ditolak karena putusan judex factie di pengadilan tingkat pertama dan banding sudah baik (penerapan hukumnya, red),” kata Amran Suadi kepada Hukumonline.

Sebaliknya, bila perkara sengketa ekonomi syariah di tingkat kasasi dikabulkan MA, berarti ada yang tidak benar penerapan hukum pengadilan judex factie-nya di pengadilan tingkat pertama atau banding. Apalagi, saat ini sudah semakin banyak hakim pengadilan agama yang telah tersertifikasi khusus untuk mengadili dan memutus sengketa ekonomi syariah. Hal sesuai amanat Pasal 9 Perma No.5 tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.

“Setiap tahun kita mengadakan sertifikasi hakim sengketa ekonomi syariah. Kalaupun ada hakim yang belum tersertifikasi, hakim yang bersangkutan ditugaskan belajar hukum ekonomi syariah di luar negeri. Setelah lulus disetarakan dengan sertifikasi (hakim ekonomi syariah, red) sesuai pedoman diklat Lembaga Administrasi Negara (LAN),” kata dia.

Menurut Amran, saat ini sudah banyak hakim pengadilan agama yang lebih siap menangani sengketa perkara ekonomi syariah dibanding awal-awal terbit Perma No.14 Tahun 2016 ini. Terlebih, hakim-hakim yang ada saat ini muda-muda yang mahir menggunakan teknologi dan menguasai bahasa asing.

Senada, Asisten Ketua Kamar Agama MA yang juga hakim yustisial, Khairul Anwar menilai perkembangan pelaksanaan Perma Sengketa Ekonomi Syariah sudah relatif baik. Perkara yang masuk ke pengadilan dapat ditangani dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perkara-perkara yang masuk ke pengadilan dapat diselesaikan dengan baik. Para pihak dapat mengajukan perkaranya baik melalui gugatan sederhana maupun gugatan biasa.

“Awalnya ada kendala dalam eksekusi dan pembatalan putusan arbitrase syariah sebelum ada Perma No.14 Tahun 2016 ini. Tapi, setelah terbitnya Perma Sengketa Ekonomi Syariah tidak terdapat kendala yang berarti karena hakikatnya lahirnya Perma ini untuk mengatasi kendala hukum acara yang bersifat umum.”  

Khairul menyebutkan jumlah perkara khusus sengketa ekonomi syariah yang ditangani pengadilan agama/mahkamah syar’iyah seluruh Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Misalnya, pada 2018, beban perkara gugatan biasa totalnya berjumlah 319 perkara. Dari jumlah itu, telah diputus sebanyak 217 perkara, dicabut 15 perkara, dan sisa perkara yang belum diputus 87 perkara.  

Pada 2019, beban perkara gugatan sederhana totalnya berjumlah 168 perkara. Dari jumlah itu, telah diputus 38 perkara, dicabut 116 perkara, dan sisa perkara yang belum diputus 14 perkara. Sedangkan beban perkara gugatan biasa totalnya berjumlah 283 perkara. Dari jumlah itu, telah diputus 173 perkara, dicabut 61 perkara, dan sisa perkara yang belum diputus 49 perkara. Tingkat penyelesaian tahun 2019 sebesar 69,05 persen.  

Pada 2020, beban perkara gugatan sederhana totalnya berjumlah 279 perkara. Dari jumlah itu, diputus 184 perkara, dicabut 85 perkara, dan sisa belum diputus 10 perkara. Sedangkan, beban perkara gugatan biasa totalnya berjumlah 283 perkara. Dari jumlah itu, telah diputus 173 perkara, dicabut 61 perkara, dan sisa belum diputus 49 perkara. Tingkat penyelesaian tahun 2020 sebesar 96,42 persen.  

“Dari data prosentase di pengadilan agama tingkat pertama itu dapat terlihat pelaksanaan Perma Sengketa Ekonomi Syariah dapat dikatakan berjalan efektif,” katanya.

Salah satu perkara ekonomi syariah yang diputus yakni sengketa antara penggugat nasabah Bank Syariah Mandiri (BSM) menggugat BSM (tergugat I), Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL/tergugat II), dan masyarakat pemenang lelang (tergugat III) di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Dikutip laman Badilag MA, perkara ini yang tercatat dengan nomor registrasi 210/Pdt.G/2020/MS.Bna ini, berakhir damai melalui hakim mediator.

Sejak diajukan pada 26 Juni 2020, para pihak menjalani beberapa kali pertemuan dalam proses mediasi. Akhirnya, dalam pertemuan keempat para pihak mencapai kesepakatan untuk berdamai yang ditandatangani pada 26 Agustus 2020 karena mereka lebih mengutamakan penyelesaian secara musyawarah.

Tags:

Berita Terkait