Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati
Kolom

Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati

Tidak sesederhana itu membaca dan memaknai fakta dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU 7/2020.

Bacaan 7 Menit

Untuk diketahui, Pasal 59 ayat (2) merupakan salah satu dari sekian banyak norma yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional melalui Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011. Putusan itu diketok saat MK menguji UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi. Apa alasan MK? Ada tiga hal ditegaskan MK dalam pertimbangan hukumnya.

Pertama, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan  tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan MK sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada.

Kedua, norma Pasal 59 ayat (2) itu tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena DPR dan Presiden hanya akan menindaklanjuti putusan MK jika diperlukan saja. Padahal putusan MK merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional.

Ketiga, Pasal 59 ayat (2) mengandung kekeliruan, yaitu frasa “DPR atau Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Karena itu, DPR atau Presiden tidak berdiri sendiri dalam membahas rancangan undang-undang, sehingga frasa “DPR atau Presiden” bertentangan dengan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945.

Dari pemahaman latar yuridis di atas, sesungguhnya sudah sejak lebih kurang 9 tahun yang lalu norma Pasal 59 ayat (2) itu dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kata Alec Stone (2002:77), memang sebatas menyatakan itu kewenangan MK. Urusan menghapus norma (dalam makna yang harfiah) merupakan kewenangan pembentuk UU.

Ringkasnya, pasca putusan MK redaksi norma masih ada, tetapi tanpa daya laku dan daya ikat. Baru melalui UU 7/2020, Pembentuk UU betul-betul menyingkirkan redaksi norma itu dengan menghapusnya sekalian dari kesisteman UU MK. Menggunakan kalimat lain, dihapusnya Pasal 59 ayat (2) sesungguhnya merupakan bagian dari tindakan hukum Pembentuk UU untuk menindaklanjuti atau melaksanakan putusan MK. Jadi, niscaya clear pada titik ini.

Putusan MK Boleh Tak Ditindaklanjuti?

Jawaban atas pertanyaan itu mengait erat pada kodrat sifat putusan MK. Sebagai peradilan konstitusi, MK punya sejumlah karakter pembeda dengan peradilan umum atau peradilan biasa. Salah satunya, putusannya ditentukan bersifat final dan mengikat (final and binding). Umumnya, di semua negara yang mengadopsi MK dalam sistem ketatanegaraannya, selalu dijumpai ketentuan dan praktik bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, baik di konstitusi atau di level undang-undang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait