Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati
Kolom

Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati

Tidak sesederhana itu membaca dan memaknai fakta dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU 7/2020.

Bacaan 7 Menit

Di MK Ukraina, putusan bersifat final dan tidak dapat ditempuh mekanisme banding. Putusan MK, wajib dilaksanakan di seluruh wilayah hukum Ukraina. Di Kosovo, putusan MK mengikat lembaga peradilan dan semua orang serta lembaga negara di Republik Kosovo. Di Latvia pun demikian. Putusan MK Latvia bersifat final dengan efek berlaku sejak putusan diumumkan serta ditentukan mengikat semua orang, institusi, termasuk pengadilan.

Bahkan di MK Kosovo, putusan MK yang final dan mengikat dalam pengujian undang-undang disertai pemberian jangka waktu tertentu kepada adressat putusan untuk melaksanakannya. Di MK Hungaria, putusan mengikat semua pihak dan tidak terdapat mekanisme hukum terhadapnya. Di Konstitusi Ceko ditegaskan, putusan MK mengikat dan dilaksanakan oleh semua pihak atau perorangan yang terkait dengan putusan.

Di Indonesia, UUD 1945 juga mendesain demikian. Seperti diungkap dalam pertimbangan hukum putusan MK, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final..."

Ketentuan itu diderivasi ke dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK. Di Penjelasannya dinyatakan lebih jelas, "Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memeroleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh". Pasal 47 UU MK mempertegas lagi, "PutusanMahkamah Konstitusi memperolehkekuatan hukum tetapsejakdiucapkandalamsidang pleno yang terbuka untuk umum."

Bagaimana memahami sifat final dan mengikat putusan MK? Antara lain, yang paling umum, putusan final dan mengikat MK dilekatkan pada hakikat kedudukan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Tidak ada hukum lain yang lebih tinggi darinya. Maka, ketika suatu persoalan hukum dihadapkan kepada MK dengan menggunakan UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya, putusan atas persoalan hukum itu bersifat final.

Dalam hal ini, para Pihak telah menempuh upaya pencarian keadilan yang ditautkan pada hukum dengan derajat supremasi tertinggi sebagai tolak ukur, yaitu UUD 1945. Tidak ada lagi proses peradilan lain dengan dasar dan tolak ukur hukum yang lebih tinggi derajatnya selain di MK (Fajar Laksono Suroso, 2014).

Selain itu, final dan mengikat putusan MK dipahami dari tidak disediakannya mekanisme hukum lain untuk men-challenge putusan MK. Begitu MK memutus, seperti telah pula dinyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, putusan itu langsung dilaksanakan (self-executing).

Tags:

Berita Terkait