Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati
Kolom

Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati

Tidak sesederhana itu membaca dan memaknai fakta dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU 7/2020.

Bacaan 7 Menit

Dari pemahaman demikian, sifat final dan mengikat putusan MK itu dengan sendirinya menampik logika bahwa dihapusnya Pasal 59 ayat (2) membuat hilangnya kewajiban DPR dan Presiden untuk menindaklanjuti putusan MK. Postulat penuntunnya, karena UUD 1945 mendesain final dan memiliki kekuatan mengikat, putusan MK wajib dilaksanakan oleh siapapun adressat putusan, termasuk DPR dan Presiden selaku Pembentuk UU.

Dalam desain demikian, pada ranah das sollen, mestinya sudah tak tersedia ruang bagi sesiapapun adressat putusan untuk menghindar dari kewajiban menindaklanjuti atau melaksanakan putusan MK. Namun pada ranah empirik, das sein, tidak terpungkiri, ruang politik selalu terbuka untuk tidak melaksanakan putusan. Terlebih lagi dikatakan Hamdan Zoelva (2015:112), pelaksanaan putusan MK bergantung pada reputasi MK sendiri dan kesadaran atau respect dari lembaga-lembaga negara pada cabang kekuasaan lain.

Dari ruang itu, seringkali muncul dinamika dalam pelaksanaan putusan MK, ada tolak tarik di antara para pemangku kepentingan putusan. Malah kerapkali dinamika itu diwarnai relasi kooperatif atau konfrontatif antara MK dengan adressat putusan, dalam hal ini Pembentuk UU (Fajar Laksono Suroso, 2018).

Namun sekali lagi, hal itu sama sekali tak dapat mengikis sedikitpun sifat final dan mengikat putusan MK. Ini berarti juga tak menghilangkan kewajiban untuk taat dan melaksanakannya. Sebab, tak melaksanakan putusan MK pada hakikatnya merupakan pelanggaran hukum, pelanggaran UU, bahkan pelanggaran terhadap hukum tertinggi: UUD 1945.

Jadi, sesederhana itu sebetulnya membaca dan memaknai fakta dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU 7/2020. Oleh karenanya, tidak diperlukan logika sembrono berujung kesimpulan yang bukan cuma keliru, tetapi juga cenderung insinuatif. Mari berhukum lebih cermat dan lebih dewasa. Pada saat bersamaan, penting disadari semua pihak, publik berhak memeroleh pemahaman yang ‘bening’. Untuk itu, jangan mengobral narasi-narasi tanpa alas kejernihan berpikir, kecuali memang bertujuan memperkeruh dan menyesatkan. Salam Konstitusi!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Pendapat pribadi, tidak merepresentasikan lembaga atau institusi manapun.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait