Menanti Realisasi Rekomendasi DPR atas Penghilangan Paksa
Berita

Menanti Realisasi Rekomendasi DPR atas Penghilangan Paksa

Secara yuridis, tak ada sanksi yang bisa dijatuhkan ke Presiden kalau tidak menjalankan rekomendasi.

Oleh:
CR-7
Bacaan 2 Menit

 


Penuntasan kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 juga dianggap penting untuk mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM yang serupa di kemudian hari. Mereka khawatir, apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dituntaskan, maka tidak ada efek jera terhadap para pelaku, sehingga ada kemungkinan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia terus berlanjut. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra M. Zen, dan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, menyampaikan tanggapan mereka.


Bagi Patra, presiden sudah melakukan penundaan keadilan dan pembiaran ketiadaan pertanggungjawaban. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. “Penundaan keadilan dan pembiaran tidak ada pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat ini, itu wujud paling nyata, karakter paling konkret, dari rezim otoriter,” terang Patra.

 

Menurut Patra, penundaan keadilan dan pembiaran ketiadaan pertanggungjawaban sendiri merupakan bentuk dari kejahatan berat hak asasi manusia. “Kami meminta jawaban dari presiden SBY secepatnya, mengenai tindak lanjut rekomendasi dari DPR RI yang sudah ditetapkan pada periode sebelumnya,” lanjutnya.


Usman Hamid menilai presiden seharusnya segera menjalankan rekomendasi DPR. Dukungan parlemen dalam kasus orang hilang sudah penuh, dan menjadi keputusan semua partai. Karena itu, rekomendasi yang dikaluarkan sudah mengikat DPR secara kelembagaan, termasuk
partai-partai yang ada di dalamnya. "Presiden sudah tidak punya alasan untuk menunda," ujarnya.


Pasal 43 ayat (2) Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM  memberikan perintah kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc, dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (Kepres). Sayang, tidak ada mekanisme sanksi hukum yang jelas, apabila presiden tidak menjalankan rekomentasi presiden. "Presiden hanya bisa dikatakan tidak menjalankan perintah undang-undang," terang Usman.

 

Itupun, dengan interpretasi terhadap perintah undang-undang. Karena itu, tercapainya keadilan bagi korban penghilangan paksa, sangat tergantung dengan political will dari presiden. Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Julian A. Pasha mengatakan bahwa Presiden SBY berkomitmen terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Hasilnya memang tak bisa langsung dilihat dalam seratus hari pemerintahan.

 

 

Tags: