Menanti Undang-undang Khusus Fintech yang Ramah Konsumen
Perlindungan Konsumen 2020

Menanti Undang-undang Khusus Fintech yang Ramah Konsumen

Regulasi mengenai perlindungan data pribadi menjadi salah satunya. Perlu dicatat, risiko pelanggaran hak konsumen juga terjadi di fintech legal atau yang terdaftar di OJK.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Menurut Ardiansyah, salah satu regulasi yang dibutuhkan saat ini untuk memberi perlindungan konsumen dalam ekonomi digital yaitu UU Perlindungan Data Pribadi. Menurutnya, kerawanan bocornya data pribadi masyarakat terjadi karena belum ada pengaturan ketat mengenai hal tersebut. Dia mendorong pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU tersebut agar ada kepastian hukum yang memberi kepercayaan pada masyarakat.

 

Menyadari belum matangnya infrastruktur pengawasan industri fintech ini, OJK mengumumkan secara resmi menghentikan pendaftaran perusahaan financial technology (fintech) lending. Otoritas ini menganggap industri fintech saat ini memerlukan penyempurnaan sistem pengawasan sekaligus meningkatkan kualitas industri demi memberi perlindungan bagi konsumen.

 

“OJK menghentikan sementara pemberian slot pendaftaran baru financial technology lending. Penghentian ini dilakukan untuk memberi waktu dalam penyempurnaan sistem pengawasan dan memastikan sistem peningkatan kualitas industri ini,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Riswinandi, Senin (24/2).

 

Meski terdapat penghentian pendaftaran sementara waktu, OJK tetap memproses perusahaan fintech yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Berdasarkan data OJK, terdapat 164 perusahaan fintech yang sudah beroperasi di Indonesia saat ini.  Dari jumlah tersebut, sebanyak 25 perusahaan fintech telah mengantongi izin OJK.

 

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, dalam beberapa kesempatan mengimbau kepada masyarakat untuk tidak tergiur terdahap imbal hasil dan kemudahan yang ditawarkan perusahaan fintech ilegal tersebut. Menurut Tongam, imbal hasil yang tidak wajar merupakan salah satu ciri-ciri dari investasi ilegal.

 

Kemudian, masyarakat juga diimbau untuk teliti memilih perusahaan fintech dengan cara mengetahui terlebih dahulu kejelasan lokasi perusahaan. Tongam menjelaskan entitas ilegal tersebut mayoritas tidak memiliki alamat kantor yang jelas. Terlebih lagi, dari daftar entitas ilegal tersebut merupakan entitas asing terutama dari Cina.

 

Tongam menjelaskan dalam berinvestasi terdapat dua hal yang harus dipahami masyarakat yaitu imbal hasil dan tingkat risiko. Menurutnya, setiap investor perlu mengenali profil risiko dari masing-masing entitas sebelum berinvestasi, sehingga dapat memilih instrumen yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Sayangnya, investor seringkali hanya memperhatikan tingkat imbal hasil, namun tidak menjelaskan potensi risiko yang bakal dialami seperti kerugian dan gagal bayar.

 

Tags:

Berita Terkait