Perlindungan eksistensi masyarakat pada dasarnya menjaga hak mereka melakukan evolusi sosial secara alamiah alih-alih dipaksa oleh hukum negara. Pendapat ini disampaikan Guru Besar Hukum Adat Universitas Jember, Dominikus Rato di sela acara diskusi merayakan HUT ke-43 APHTN-HAN, Kamis (2/3/2023).
“Negara sebagai organisasi politik melindungi masyarakat adat sebagai organisasi sosial untuk berevolusi dengan tahapan-tahapan mereka sendiri,” kata Dominikus kepada Hukumonline. Ia mengatakan mungkin saja masyarakat adat akan sampai ke tahap yang sama dengan tatanan negara modern. Namun, kata kuncinya harus dengan kemauan sendiri.
Ia mengingatkan konsep negara modern sering tergesa-gesa menyeragamkan tatanan masyarakat. Masalah ini terutama dirasakan oleh negara berkembang seperti Indonesia yang belum lama menjadi negara modern. Ada proses evolusi masyarakat adat yang dilompati dan dipaksa melakukan percepatan dengan pendekatan hukum negara.
Baca Juga:
- APTHN-HAN Ingatkan Urgensi Isu Ketatanegaraan Desa
- APTN-HAN Bakal Rayakan HUT ke-43 Bersama Masyarakat Adat Osing
- FH UNEJ Raih Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi 2022
Dominikus mengambil contoh masyarakat adat Osing yang sempat kesulitan mempertahankan eksistensinya. Hal itu disebabkan teori hukum lama hanya mengakui eksistensi masyarakat adat yang terorganisir sebagai desa dalam administrasi pemerintahan negara.
“Padahal desa Osing dipecah menjadi tiga oleh hukum negara. Lalu apakah eksistensi mereka sebagai kesatuan menjadi tidak ada?” katanya dalam diskusi bersama para anggota APHTN-HAN. Perlu dicatat bahwa pembedaan konsep desa dan desa adat mulai ada dalam hukum Indonesia sejak terbitnya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dominikus juga memberi kritik pada berbagai hukum negara berkaitan dengan pemerintahan daerah. Di satu sisi, hukum tata negara yang mengaturnya bisa berpeluang menguntungkan perlindungan hak masyarakat adat. Di sisi lain, bisa juga justru merugikan.