Menata Eksistensi Masyarakat Adat dalam Bingkai Hukum Tata Negara
Utama

Menata Eksistensi Masyarakat Adat dalam Bingkai Hukum Tata Negara

Saat ini hanya diakui melalui produk penetapan kepala daerah alih-alih peraturan daerah.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Regulasi Pengakuan Masyarakat Adat

Yusuf Adiwibowo, dosen FH UNEJ yang juga menjadi narasumber menyebut regulasi eksplist soal masyarakat adat saat ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. “Isinya mensyaratkan Keputusan Kepala Daerah untuk mengakui (menetapkan, red) wilayah masyarakat hukum adat,” kata dia.

Masalahnya, wujud pengakuan itu hanya berupa penetapan alih-alih pengaturan. Padahal penetapan sangat mudah dicabut. “Permendagri itu tidak mengharuskan pengakuan dengan Peraturan Daerah,” kata Yusuf.

Regulasi lainnya yang berkaitan masyarakat adat adalah Peraturan Menteri Agraria & Tata Ruang/Kepala BPN No.18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2020 Tentang Hutan Adat Dan Hutan Hak. “Semuanya mengatur objek hak yang berbeda, tetapi sama-sama mengaturnya hanya melalui penetapan kepala daerah. Ini tidak cukup,” kritiknya.

Ia melihat kebutuhan mendesak adanya regulasi yang memperkuat perlindungan eksistensi masyarakat adat. Setidaknya perlu ada penataan yang menegaskan bahwa eksistensi masyarakat adat seperti Desa Adat Osing diatur dengan Peraturan Daerah (Perda).

Tags:

Berita Terkait