Menata Kewenangan Pengawasan Perbankan
Kolom

Menata Kewenangan Pengawasan Perbankan

Merupakan langkah yang tepat jika kewenangan pengawasan ditata kembali dalam RUU Perubahan Ketiga UU BI dan dalam rancangan rencana penerbitan Perppu reformasi sistem keuangan.

Rio Christiawan. Foto: Istimewa
Rio Christiawan. Foto: Istimewa

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang menyusun Revisi Undang Undang Bank Indonesia (RUU Perubahan Ketiga UU BI) yang merupakan perubahan ketiga atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu polemik yang belakangan muncul dari RUU Perubahan Ketiga UU BI tersebut terkait isu kewenangan pengawasan perbankan. Saat ini dalam menjalankan fungsinya Bank Indonesia dibantu oleh dua organ yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kedua institusi tersebut secara hukum merupakan lembaga yang membantu fungsi Bank Indonesia (BI), kedua lembaga tersebut merupakan lembaga bantu (state`s auxiliary organ) yang oleh Ahmad Basarah (2013), sebagai institusi negara yang bersifat penunjang organ/lembaga utama (Main State`s Organ). OJK dan LPS dalam hal ini dikatakan sebagai lembaga bantu dari Bank Indonesia karena lahir dari jabaran kewenangan yang dimiliki oleh BI. Secara historis rangkaian peraturan perundang-undangan terkait perbankan tersebut, yakni UU BI, UU LPS dan UU OJK lahir dipicu karena kondisi krisis ekonomi.

Sebelum membahas RUU Perubahan Ketiga UU BI maupun pembahasan terkait polemik rencana terbitnya Perppu reformasi sistem keuangan yang akan mempengaruhi kewenangan BI, OJK dan LPS, maka artikel ini akan menjelaskan lahirnya ketiga aturan tersebut secara historikal. Ketiga lembaga tersebut lahir karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1998 dan 2008. UU BI No. 23/1999 lahir karena menggantikan UU BI No. 13/1968 tentang Bank Sentral.

UU BI No. 13/1968 tentang Bank Sentral dicabut dan digantikan dengan UU BI No. 23/1999 karena pada saat itu kewenangan pemberian bantuan likuiditas ada pada BI sesuai UU BI No. 13/1968. Persoalan bantuan likuiditas menjadi masalah ketika krisis terjadi sehingga UU BI No. 13/1968 dicabut dan digantikan dengan UU BI No. 23/1999. Solusi atas persoalan bantuan likuiditas tersebut dialihkan pada model jaminan simpanan yang dikelola lembaga penjamin simpanan yang lahir melalui UU No. 24/2004 tentang LPS.

Lahirnya LPS dimaksudkan agar masyarakat percaya pada institusi perbankan setelah krisis 1998 terjadi. Jadi dalam hal ini LPS merupakan lembaga yang lahir sebagai bagian dari paket krisis ekonomi 1998 (UU BI No. 23/1999 merupakan dasar lahirnya UU No. 24/2004). Lahirnya OJK juga dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi tahun 2008.

OJK lahir sebagai bagian dari paket dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang yang pasca krisis 2008 mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badanbadan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

Penataan Kewenangan

Berdasarkan uraian di atas secara historis dapatlah dipahami bahwa UU LPS maupun UU OJK (UU No 21/2011) lahir dari perubahan UU BI itu sendiri. Saat ini secara kontekstual, persoalan pengawasan perbankan kembali menjadi polemik baik dalam penyusunan RUU revisi UU BI dan rencana penerbitan Perppu reformasi sistem keuangan. LPS dan OJK merupakan dua lembaga yang lahir sebagai implementasi dari Pasal 8 huruf (c) UU BI tentang tugas BI yakni mengatur dan mengawasi bank.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait