Mencari Model Hukum Proyek MRT
Berita

Mencari Model Hukum Proyek MRT

Diharapkan dapat menjadi contoh untuk pembangunan proyek infrastruktur di daerah.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: Talks Hukumonline
Foto: Talks Hukumonline
Proyek pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT) menjadi proyek pertama yang dikerjakan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Model hukum pembangunan infrastruktur transportasi publik di Jakarta yang dikerjakan oleh PT MRT Jakarta menjadi model hukum yang unik dan menarik.

Dalam hal ini, pengembangan proyek tidak dilakukan langsung oleh Pemprov DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta membentuk BUMD yakni PT MRT untuk mengembangkan proyek MRT. Model pengembangan ini diharapkan dapat menjadi contoh sebagai model hukum baru untuk mengembangkan infrastruktur di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Direktur Umum PT MRT Jakarta, Dono Boestami mengatakan, sebagai proyek contoh, proyek ini sekaligus menjadi showcase dan menjadi bahan pembelajaran bagi semua pihak. Tidak saja pembelajaran dari sisi teknis konstruksi, aspek sosial dan lingkungan, pengelolaan hubungan dengan masyarakat, tetapi juga pembelajaran dari sisi hukum dan regulasi.

“Sebagai proyek pertama, secara legal, proyek MRT membutuhkan sebuah dukungan perangkat regulasi dan hukum yang memadai,” kata Dono dalam seminar hukumonline bertema “Model Pembangunan Infrastruktur Transportasi Publik  (Studi Kasus MRT Jakarta)”, di Jakarta, Kamis (25/9).

Dono melanjutkan, sebagai pihak yang dipercaya untuk mengelola proyek pengembangan MRT, PT MRT memiliki kewenangan untuk melakukan tender kontraktor dan penyedia jasa lainnya serta menandatangani kontrak-kontrak pembangunan dan pengembangan proyek MRT. Kewenangan ini, lanjutnya, diatur dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan PT MRT Jakarta yang kemudian diubah dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2013.

Perda No. 3 Tahun 2008 menjadi dasar hukum bagi pembangunan proyek MRT oleh BUMD. Berdasarkan Perda, PT MRT Jakarta memiliki tiga tugas yaitu meliputi pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengusahaan sarana dan prasarana MRT; serta mengembangkan dan mengelola stasiun serta depo dan kawasan sekitarnya.

Kendati sudah memiliki dasar hukum yang jelas, Dono menegaskan diperlukan adanya telaah lebih lanjut untuk melihat posisi Perda ini dalam tatanan hukum dan regulasi secara lebih luas. “Perda ini di satu sisi memberikan kewenangan kepada PT MRT Jakarta dalam menjalankan tugas seperti yang diamanatkan, akan tetapi di sisi lain diperlukan telaah lebih lanjut untuk melihat posisi Perda ini dalam tatanan hukum dan regulasi secara lebih luas,” jelasnya.

Selain melalui BUMD, model hukum yang ada di Indonesia seperti model Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) juga diperlukan untuk melanjutkan tahap pembangunan proyek MRT Jakarta selanjutnya. Model PPP ini yang model pembiayaannya sendiri, diakui oleh Dono merupakan salah satu opsi yang sedang dikaji.

“Model KPS atau PPP ini sedang kita kaji secara serius karena best practice di berbagai negara menunjukkan bahwa pengembangan proyek infrastruktur skala besar lazim menggunakan model Kerjasama Pemerintah Swasta,” ungkapnya.

Adapun manfaat dari model ini selain dapat menghemat penggunaan dana APBN ataupun APBD, juga memungkinkan adanya transfer of knowledge dan transfer of experience dari pihak swasta kepada Pemerintah.

Selain itu, regulasi mengenai model KPS ini sudah memiliki payung hukum yakni Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2013 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Satya Arinanto mengatakan, Perda No. 3 Tahun 2008 memberikan kewenangan secara atribusi kepada PT MRT Jakarta untuk melakukan dua hal. Pertama, melakukan penyelenggaraan sarana dan prasarana perkerataapian umum perkotaan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengusahaan sarana dan prasana MRT.

Kedua, pengembangan dan pengelolaan property atau bisnis di stasiun dan kawasan sekitarnya, depo dan kawasan sekitarnya,” kata Satya dalam acara yang sama.

Namun, Satya menegaskan jika perlu adanya perbaikan-perbaikan regulasi untuk mendukung proyek MRT ini. Ia mengingatkan untuk tidak mempermasalahkan regulasi yang ada, tetapi lebih kepada perbaikan agar proyek ini berjalan lancar. “Kalau bicara soal regulasi, saya sudah jelaskan tadi masih banyak yang belum sempurna. Tetapi jangan menjadi masalah. Toh awal kemerdekaan kita belum punya apa-apa tapi bisa melaksanakan pembangunan dan lain sebagainya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait